prolog

272 20 6
                                    

"Mas, aku sudah mulai pintar membaca. Nanti, kalau sampai sana. Jangan lupa kirim surat, ya." Anak laki-laki berusia enam tahun memberi pesan dengan mata berkaca. Dia tak rela, jika harus berpisah. Namun, kakaknya bilang semua akan baik-baik saja. Bisa berkirim kabar melalui surat, bahkan bertemu karena tempatnya tak terlalu jauh.

Kakak laki-laki yang terpaut tiga tahun itu tersenyum, meyakinkan jika akan menepati janji. Sembari menahan sesak di dada, dia melepaskan tangan adiknya. "Belajar yang rajin, ya. Jangan kecewain Mas."

Anak lelaki yang baru saja duduk di bangku TK itu mengangguk, menyetujui permintaan seraya menyeka air mata. Baru saja berjalan satu langkah, seketika memutar tubuh kembali. "Tapi bagaimana kalau nanti di sana, aku kangen sama Mas?"

"Tenang saja. Di sana banyak temannya, kamu gak akan pernah kesepian." Linggar mengelus rambut adiknya lalu jongkok untuk menyeka sisa air mata. "Tempatnya juga dekat, Mas bisa pergi ke sana kalau kangen."

"Bener, ya?" Sang adik memberi pelukan pada kakaknya untuk terakhir kali, sebelum orang tua asuhnya meminta dengan sedikit memaksa naik ke mobil.

Dengan berat hati, dia masuk ke mobil. "Mas harus menepati janji, ya?" tanyanya seraya melongak dari jendela mobil yang terbuka.

Sang kakak mendekat, menautkan jari kelingkingnya pada jemari adiknya. Perlahan tautan terlepas lalu mobil bergerak menjauh, meninggalkan panti asuhan yang berada di tepi perkotaan.

Sang adik masih saja melambaikan tangan, sedang kakaknya yang belum rela mulai mengikuti mobil yang semakin menjauh dan hilang ketika berbelok di tikungan. Dia terpaku di tempat ketika adiknya sudah tak tertangkap mata, lalu air mata yang ditahan sedari tadi berjatuhan. Dadanya sakit menerima perpisahan. Namun, semua demi kebaikan. "Tenang saja. Mereka pasti menjagamu dengan baik dan aku juga akan selalu memperhatikanmu."

Brother (Lintang dan Linggar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang