08- Paket

876 62 4
                                    

"Terlalu berekspektasi tinggi sampai lupa kalau sedang menjalankan tugas," -Sagara

×××

Jangan lupa votenya ya.

Viara menyimpan handuknya dikursi sehabis mandi, sembari menguap, ia sudah terlalu lelah, tubuhnya belum beristirahat sehari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Viara menyimpan handuknya dikursi sehabis mandi, sembari menguap, ia sudah terlalu lelah, tubuhnya belum beristirahat sehari.

Ia menidurkan tubuhnya di atas ranjang bersiap untuk tidur. Namun, baru saja menutup mata, suara ketok pintu membuat Viara kembali membuka matanya.

Viara mendengus, selalu saja ada halangan kalau mau tidur. Ia beranjak membuka pintu, ternyata Bik Inah. Padahal ia pikir Dasha atau temannya yang lain. Viara kembali membuang nafas kasar, kalau tau begini dia tak perlu repot-repot buka pintu, tinggal suruh masuk aja udah.

"Aduh non, maaf mengganggu. Itu, ada kiriman paket buat Non, bibik gak tahu dari siapa, tapi kata Pak Yanto buat Non," ucap Bik Inah.

"Kenapa nggak dibawa kesini aja Bik?"

"Bibik gak berani Non,"

Viara menggaruk rambutnya malas, paket apalagi itu, seingatnya dia belum pesan paket apapun.

"Bawa aja kesini Bik," pinta Viara sembari menguap, "Nih, Via ngantuk, gak bisa kebawah." lanjutnya beralasan, tapi memang nyatanya begitu.

"Yaudah bentar,"

Bik Inah datang kembali dengan membawa sekotak paket terbungkus rapi yang dilapisi plastik hitam. Viara mengambilnya lalu membukanya walau tak tahu paket apa itu, tapi yang jelas miliknya, karena sudah tertampang jelas namanya di atas paket tersebut.

Sebuah kotak hitam dan coklat satu pack isi paket itu. Viara menyerngit, apalagi ini?

"Bik, dibawah ada makanan nggak?" tanya Viara pada Bik Inah, karena saat ini dia memang tengah lapar.

"Nggak ada Non, bibik belum masak," jawab Bik Inah.

Tepat sekali, untung ada kiriman itu, tapi dari siapa? Nama pengirimnya tidak ada, apa mungkin dari Dasha?

"Yasudah, saya turun dulu ya Non, mau bersih-bersih," pamit Bik inah lalu pergi.

Viara mengambil handphonenya lalu menghubungi Dasha bertanya padanya soal kiriman ini, karena pikir Viara, Dasha yang mengirim coklat itu padanya.

Namun, setelah melihat jawaban Dasha yang mengatakan tidak mengirim apapun, Viara kembali dibuat berpikir, siapa lagi pelakunya?

Dia juga sudah bertanya pada teman-temannya tapi tidak ada satupun yang tahu tentang kiriman itu. Ah, niatnya tidur malah disuruh berpikir. Apa dia harus mengabaikan saja?

Suara notif handphone kembali berbunyi, Viara kembali membukanya melihat notif tersebut.

Nomor asing itu kembali mengiriminya pesan, dan lebih mengejutkan lagi adalah dia pelaku pengirim paket itu.

Viara kesal, sudah lama ia tak diusik pemilik nomor itu, sekarang malah balik lagi.

Karena tak ingin berpikir panjang lagi, akhirnya Viara memilih untuk menyimpan semua barang itu lalu pergi tidur tak peduli dengan perutnya yang kelaparan.

•~•~

Seorang remaja laki-laki berdiri tegak tepat didepan kaca seolah sedang bercermin. Ia sendiri, disekelilingnya tidak ada siapapun, hanya ada benda-benda yang sudah lapuk. Ruangan kosong yang dipenuhi sarang laba-laba dan berbagai macam hewan kecil, dan debu yang bertebaran disekelilingnya. Ruangan itu terbilang kecil seperti kost-kostan.

Pisau yang terletak diatas meja kian tertancap dicermin, disertai netra matanya yang tajam, menatap pecahan kaca itu sembari tersenyum smirk.

Darah mengalir ditangannya, setelah mengiris pisau itu disalah satu jarinya. "Ara." bibirnya menyebut nama seorang perempuan.

"Semua laki-laki yang mendekati kamu, akan menjadi seperti serpihan kaca itu." gumam laki-laki itu dengan sendirinya.

Beralih mengambil pisau yang terletak di lantai, lalu melemparnya asal arah.

"SELATAN MAHESWARA."

Ia tersenyum smirk. "The first boy who dared to approach my beloved." ucapnya sembari menonjok kaca hingga benda itu pecah total seperti semula

"Santai brother, jangan terlalu sensitif begitu." seorang laki-laki datang berdiri dibelakangnya.

Laki-laki itu menoleh.

"Bagaimanapun juga, dia adikmu." lanjut laki-laki yang baru datang itu.

"Cowok pengkhianat seperti dia bukan adikku."

•~•~

"Lo kenapa dari kemarin kayak ngejauhin gue, Tan?" tanya Viara pada selatan. Mereka kini sedang dikafe hendak bekerja tugas.

Sesuai ajakan Selatan tadi, yang mengajaknya berkelompok, ralat berdua. Viara sedikit bingung, tumben sekali kerkelnya berdua, padahal kelompoknya sudah dibagi deluan oleh Bu Fika.

Tapi kata Selatan, Sagara membolehkan kerja bareng dua orang saja. Jadi Viara tidak terlalu mempermasalahkannya.

"Masa sih? Perasaan lo aja kali." jawab Selatan.

Viara terdiam, apa mungkin memang perasaannya saja?

"Mana sini buku lo," Viara mengeluarkan bukunya dari dalam tas, lalu memberikan pada Selatan.

"Lo belum ada kerja biar satu nomor?" tanya Selatan. Viara menggeleng, "Gue gak ngerti soalnya." jawabnya jujur.

Selatan terkekeh, "Padahal pinter,"

"Pintar gak selamanya, Tan, gue juga bukan orang yang pinter banget, peringkat aja netap di dua terus." ucap Viara.

"Iya, tapi soal yang ini mudah, masa Lo gak tahu biar dikit?"

Viara tak menjawab, ia terdiam sembari berpikir, belakangan ini Viara memang nampak tak bisa menjawab soal-soal sendiri, bahkan saat ulangan dadakan beberapa hari yang lalu, banyak nomor yang dikosongkannya karena tak bisa menjawab. Apa karena pikirannya yang selalu mengarah kepada kejadian-kejadian aneh itu?

Viara menghela nafas berat, "Gak usah banyak komen, lo yang ajak gue kerja bareng lo juga yang protes, aneh." ucapnya.

"Santai Vi, sensian banget, lagi dapet ya?"

Viara juga agak kaget dengan ucapannya, apa dia terlalu kasar sampai dikira lagi datang bulan?

"Nggak. Siniin buku gue, mau kerja,"

"Bareng lah, masa sendiri sendiri." ucap Selatan.

"Yaudah kerja, gak usah komen."

•~•~

NEXT>>>

𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang