1. Angsa
Leo menenangkan tangis anak laki-laki yang sedang bersedih karena melihat kedua saudaranya pergi menggunakan sedan putih. Peristiwa ini hampir seminggu terjadi, terlebih kalau si anak bangun awal dan mendapati saudara-saudaranya tidak di rumah. Mungkin karena terbiasa selama libur sekolah mereka bertiga, Erin, Kama dan Gio selalu menghabiskan waktu bersama.
"Ayah, aku mau ikut Erin dan Kama sekolah.. hik-hik..", Gio terisak.
"Oh anak ayah, iya, nanti ya kalau sudah bisa berlari kamu boleh sekolah. Sekarang kita kasih makan angsa dan membuat burger"
"Janji?"
"Tentu"
Setelah tangis mereda, disinilah Leo dan Gio berada, tepi danau yang luas dikelilingi hutan pinus nan sejuk. Gio kegirangan bukan main saat gerombolan unggas putih itu berebut roti tawar yang dilemparkan oleh Leo.
"Aku mau kasih makan juga"
Sigap, Leo langsung menaruh selembar roti lalu membantu anak sulungnya mengayun lengan agar dapat terlempar.
Gio menjerit antusias kala lemparannya tepat sasaran dan angsa-sangsa putih kembali ramai berebut. Tak ada yang lebih indah selain melihat tawa sulungnya. Leo memang candu dengan Gio.
◻️◻️◻️◻️◻️◻️◻️◻️◻️◻️
Helai demi helai pakaian dan perban dilepas lalu dikumpulkan pada keranjang laundry oleh Rani, asisten Leo yang telah mengabdi separuh usia kepadanya. Desis kecil terdengar, namun tak mengehentikan kegiatan Rani. Setelah semuanya tanggal, Ia perlahan memindahkan Gio pada comode chair yang sudah ada di dalam kamar mandi.
Hati-hati sekali Rani memandikan putra sulung Leo, terlebih ada beberapa luka dan lebam baru serta alat medis pada tubuh kurus Gio.
"Sakit, pelan-pelan Rani", Keluh Gio saat air sabun mengalir melewat luka-luka di punggung, pantat dan tungkainya.
Dekubitus kata Leo, luka akibat Gio hanya mampu berbaring selama seperempat abad. Beberapa sudah sembuh, lalu timbul yang baru dan terkadang melebar hingga berair.
"Iya, Mas. Ini sudah paling pelan", jawab Rani sembari menggosok area leher hingga perut.
"Selang kencingnya saya lepas nanti, kata Bapak, ada sedikit infeksi", Gio hanya mengagguk.
"Mas, saya angkat ya. Tahan sebentar"
Tak butuh waktu lama, Gio sudah berada di tempat tidur. Underpad lebar terbentang menjadi alas tubuh telanjangnya. Rani mengoleskan lotion pada seluruh badan Gio, menutup dekubitus dengan perban dan melepas kateter sesuai arahan Leo.
"Hari ini saya tambahkan insert pad, Mas. Kalau terasa mau buang air besar, bisa bilang saya. Kalau belum keluar, nanti malam saya minta izin Bapak untuk enema"
Gio tidak menanggapi. Ia pasrah dengan tubuh miliknya yang entah mengapa berbeda dengan Erin dan Kama. Mereka berdua lebih besar dan sehat juga bisa bergerak bebas tanpa terhalang alat-alat aneh. Terkadang Ia juga ingin sekolah seperti kedua adiknya. Kama kelas dua SMA dan Erin sudah ada di semester akhir kuliah. Sedangkan Gio hanya di rumah tanpa mengenyam pendidikan privat maupun umum.
Udara cukup dingin, Rani lantas memasang selembar kain wol untuk menutupi kepala Gio. Lanjut menyedot lendir di dalam tracheostomy, menyuntik beberapa obat , memasang brace pada lengan dan kakinya terakhir mengalirkan cairan nutrisi dari ambul ke lambung melalui selang yang sudah permanen bertengger di perut Gio.
"Mau nonton TV atau tidur saja?", tawar Rani.Tak ada jawaban, Gio sudah terlelap lebih dulu usai obat bereaksi. Rani kemudian menyelimuti sebatas dada dan memasang pelindung pada mata kaki anak asuhnya.
"Ran, sudah tidur?", Leo terkikik kala mendapati Rani melonjak terkejut.
"Sudah, saya berikan dua kali dosis, kemungkinan sore Mas Gio baru bangun", lanjut Rani.
Leo mendekat sebari mendorong meja berisikan beberapa cairan. "Ini dari Dokter Maikal, tolong pasang pengekang, aku akan segera menyuntikkan formula ini. Aku ingin tubuh Gio memeberikan hasil yang terbaik. Kasihan kalau seperti ini terus."
⬛⬛⬛⬛⬛⬛⬛⬛⬛⬛⬛⬛⬛
▪️▪️▪️▪️▪️▪️Cerita abal-abal, banyak istilah medis yang ngawur. Harap maklum, cuma menyalurkan fantasi. Semoga suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Giorgino
Science FictionBerada dalam keluarga ini adalah hal utama yang aku syukuri. Mereka sangat peduli dan menyayangiku. Namun aku salah.