2. Air
Sejak pukul tujuh pagi Gio terlelap, baru petang ini ia terbangun. Ini bukan kali pertama ia tidur amat lama, tapi hampir selama hidup seperti itu. Rutinitas yang ia pahami hanya tidur, bangun, rehabilitasi, makan, buang air dan sakit. Walaupun iri dengan kedua adiknya, namun ia sadar bahwa tubuhnya berbeda.
Seperti biasa, Rani menyambut. Lalu terdengar menyeret benda beroda mendekati ranjang. Kesadaran Gio masih belum utuh saat brace pada sepasang kakinya dilepas kemudian Rani meletakkan tungkai kurusnya pada pedal.
"Terapi gerak dulu ya, Mas", ucap Rani.
Gio belum menanggapi. Ia sibuk dengan rasa aneh yang mendera. "Ay-yah", ia terbata.
Rani mendekat, mengusap peluh pada wajah anak asuhnya. "Bapak sedang di Lab, Mas. Sama saya dulu ya.. ini bajunya basah, saya ganti dengan gown saja".
"Ay-yah, Ran. Sak-kit", Gio terus merintih.
Rani lantas melucuti semua pakaian menyisakan popok dan kain wol.
Setelah fisioterapi rampung, sakit disetiap inchi tubuh Gio semakin menjadi. Kebas, tak dapat bergerak. Matanya pedih, buram dan nafasnya sesak sehingga selang tracheostomy kembali terhubung dengan pipa di leher. Perut mulas bukan main dan dapat ia rasakan kalau pantatnya basah tidak nyaman. Kucuran kotoran cair terasa lolos begitu banyak bersama air seni. Gio tak kuat menahan.
"Ra-an, aku ngompol", Rani tak begitu mendengar.
Kama yang baru saja pulang dari ekstrakulikuler turut bergabung dengan Rani. Ia mengusap-usap kepala Gio dengan lembut bermaksud mengurangi rasa sakit kakaknya.
"Sudah bilang Ayah kalau mata Mas Gio buram?", tanya Kama.
Rani mengangguk, "mata kiri saja, yang kanan tidak apa-apa"
"Kalau salah satunya baik, lalu tidak ada tindakan lagi? Ayah memang kejam"
"Tenang Mas, Bapak sudah melaporkan ke Dokter Maikal. Besok penawarannya segera datang"
Kama menggeleng tak percaya, "besok? Mas Gio sudah kesakitan Ran!"
Tangan Gio mengejang kecil, sedikit menarik atensi Kama dan Rani. Dahi itu berkerut dalam dan setitik air mata meluncur. "Sa-kit semua, Ran. Sak-kit dimana-mana", Gio bersusah payah menyampaikan keluhannya.
"Tahan ya, Mas. Sebentar lagi sakitnya hilang. Ini cuma efek treatment seperti biasa", Rani hanya bisa berkata demikian untuk meredam.
Semakin malam volume air seni Gio meningkat. Ini adalah kali ke empat ia mengganti diaper plus tiga insert pad yang dipakaikan dan sekarang sudah penuh lagi. Menggembung kekuningan sampai selangkangan Gio renggang.
Rani segera melepas perekat pada kedua sisi popok lalu membukanya. Ia tercengang, bukan hanya air seni saja yang membuat diaper penuh namun juga kotoran cair bercampur darah. Kemaluan Gio pun turut bengkak membiru.
"Mas, panggil Bapak!"
🔲🔲🔲🔲🔲🔲🔲🔲🔲🔲
KAMU SEDANG MEMBACA
Giorgino
Science FictionBerada dalam keluarga ini adalah hal utama yang aku syukuri. Mereka sangat peduli dan menyayangiku. Namun aku salah.