Cinta bisa hadir kapan saja tanpa diminta. Kita tidak bisa memprediksi pada siapa akan meletakkan hati. Merasakan perasaan yang awalnya biasa, dalam sekejap berubah menjadi getaran aneh. Bisa saja dalam sekali kedipan mata, saat tatapan tanpa sengaja berporos pada lawan jenis, perasaan asing langsung menyeruak dalam dada.
Sama dengan apa yang aku rasakan ketika memendam cinta diam-diam. Bermula dia menolong bak Kesatria berkuda putih saat kesialan menimpaku di minggu pertama masa MPLS dua tahun lalu, aku langsung terpincut pesonanya.
Bola matanya yang hitam legam mampu menenggelamkan segala daya yang aku punya. Kepedulian yang awalnya aku artikan sebagai rasa peduli sesama teman seketika berubah menjadi rasa nyaman saat yang lain hanya berani melihat tanpa berniat menolong.
Simple but nice. Perasaan yang rumit itu gak bisa aku jelaskan rasanya, yang pasti dadaku selalu berdebar hebat saat melihatnya meski dari radius cukup jauh, telingaku jadi lebih sensitif saat namanya tanpa sengaja disebut, dan seluruh sel-sel saraf dalam tubuhku untuk pertama kalinya error saat tatapan matanya menatap balik mataku kala itu.
Suasana hatiku hari ini benar-benar kacau, bangun kesiangan, saat perjalanan ban sepeda motor tiba-tiba bocor, dan bimsalabim baru hari kedua masuk sekolah sebagai siswa kelas dua belas sudah terlambat.
Ternyata waktu berjalan sangat cepat, perasaan baru kemarin aku menginjak kelas sebelas, mencuri-curi pandang dan kesempatan untuk bertemu Kaivan karena kami pisah kelas. Pada dasarnya waktu gak akan mengerti arti kata menunggu layaknya aku yang sebentar lagi lulus masih saja menunggu siap untuk mengutarakan perasaan.
"Kak! Kak Kaivan tunggu dulu."
Teriakan suara sopran dari belakang spontan membuat langkahku yang cepat jadi melambat. Tatapanku beralih melihat jam tangan. Pukul tujuh lebih limabelas, sudah terlambat. Nyatanya aku sudah tercebur, jadi sekalian menyelam gak masalah, kan?
Astaga, kalau mama tahu pikiran kolot anaknya lebih pilih kepo urusan gebetan dibanding mengejar waktu pelajaran, pasti aku diceramahi gak ada putusnya.
Aku refleks menoleh sebelum kembali memutar kepala kedepan ketika mengetahui dua sosok berjalan begitu dekat dibelakangku.
Aku jadi teringat lirik lagu 'wajahmu mengalihkan duniaku'. Di segala penjuru sekolah seperti ada medan magnet tak terlihat yang menarikku untuk menemukan keberadaannya. Apalagi waktu dan tempat berdiriku sekarang selalu menarik memoriku pada kenangan masa-masa MPLS dua tahun lalu.
"Ayo, Dek, aku antar." Tangan berurat kecoklatan itu lagi-lagi menyentuh pundak untuk ketiga kalinya.
Astaga! Ini cowok tahu gak, sih? Aku benar-benar risih lihat tangannya yang asal nemplok.
"Kak! Bisa gak, sih, gak usah pegang-pegang!" seruku ketus, masih berusaha bersikap sopan memanggil dia 'kak' mengingat dia kakak kelas yang harus dihormati.
Kalau gak ada peraturan siswa-siswi baru harus menjunjung tinggi asas sopan santun dengan semua penghuni sekolah selama MPLS, mungkin sudah aku cakar-cakar muka setengah pas-pasan didepanku ini.
Belum genap seminggu menjadi murid Semekia, hidupku sudah gak tenang.
"C*k!! Sombong banget! Gak kenal kamu sama Sabana Alfareza?" Suara toa-nya langsung menarik perhatian murid-murid disekitar kami.
Aku memutar bola mata malas. Beberapa hari ini aku merasa seperti dilecehkan sama Kutu Kupret ini. Setiap bertemu matanya jelalatan memindai sekujur tubuhku dengan siulan laknat.
Aku mengangguk malas menjawabnya. "Kenal, Kak Sabana Alfareza, kan? Wakil ketua OSIS, kelas tiga." ...yang punya sikap arogan, semena-mena, dan punya pikiran ngeres.
KAMU SEDANG MEMBACA
Replika Hati (On Going)
Teen FictionDIBACA BUKAN DIPLAGIAT‼️ A Teenlit Story! ------ "Jangan ngejudge orang lain seenaknya, jangan sok tahu kalau isinya nonsense, paling gak jangan katakan apapun kalau kamu gak mengenalku dengan baik. Save your breath!"-Kaivan Dhanurendra- . "Aku suka...