4. SACHI : PERTEMUAN

16 4 2
                                    

Pernahkah kalian merasa penasaran sekaligus khawatir secara bersamaan namun saat ingin mencari tahu kalian juga takut akan kecewa? Perasaan itulah yang sekarang aku rasakan.

Bahkan sampai bel pulang berbunyi tiga puluh menit yang lalu, aku masih bersembunyi di kelas ditemani Mita, menolak Della dan Sasa yang gak gentar merayu kami menjadi mata-mata dadakan untuk memastikan gosip yang sejak tadi pagi merebak.

Ya, apa yang disampaikan Della aku harap sekedar gosip belaka. Untungnya, setelah aku mengarang cerita ngalor ngidul berdalih janji ini gak bisa dibatalkan, Della dan Sasa menyerah memaksa kehendaknya.

Aku gak sekuat itu mendapati kenyataan cinta dalam diamku ini tiba-tiba kandas hanya dengan melihat mereka pulang bersama. Dua tahun menyimpan segalanya tiba-tiba sekali kedipan mata, aku menjadi patah hati. Mengerikan.

Membayangkan saja hatiku sudah perih.

Terkadang aku bertanya-tanya, Kaivan yang dingin, cuek, dan susah didekati cewek lain, kenapa begitu mudah didekati Floritta. Dia nampak gak terganggu dengan Floritta yang selalu mengikuti dan berada disekitarnya.

Mengejutkannya lagi Floritta sampai punya nomer telepon Kaivan. Padahal seingatku ketika sekelas dengan Jiro dan Kaivan saat kelas sepuluh dulu, Jiro pernah bilang Kaivan itu pilih-pilih dalam menyimpan kontak seseorang dan membalas chat.

Kontak sahabatnya itu mirip lahan kosong yang kering kerontang.

Bagaimana aku gak overthinking, dari fakta-fakta yang ada saja sudah bisa ditarik kesimpulan pasti ada sesuatu diantara keduanya.

Cukup lama di kelas aku dan Mita memutuskan pulang mengingat hari semakin sore. Untungnya saat kami sampai di lantai dasar Della dan yang lain keberadaannya gak terlihat

Kepalaku semakin pening, baru dua hari masuk sekolah setelah liburan panjang aku sudah dihadapkan kenyataan pahit kalau aku harus mengubur perasaan dalam-dalam.

Setelah Mita aku paksa pulang duluan dan pergi ke parkiran, aku berjalan ke kursi panjang yang ada disamping koridor, menunggu jemputan mama seraya membaca novel yang beberapa hari menganggur. Tapi, baru sampai paragraf keempat, suara renyah menginterupsi hingga membuat aku terlonjak kaget.

"Woi! Belum pulang, Sas?!"

"Loh? Jiro?" aku langsung bergeser menepi, mempersilahkan dia duduk. "Ngagetin aja."

Cowok yang pernah satu kelas denganku saat kelas sepuluh ini malah kembali tertawa renyah. "Kenapa? Kamu kira aku hantu? Mukamu lucu banget waktu kaget." Jiro mengambil duduk disampingku.

Aku menggeleng cepat seraya tersenyum kikuk.

"Nunggu jemputan, ya?"

Meski kami gak terlalu dekat, Jiro gak sedingin dan secuek Kaivan. Dia sering menebar senyum, terkadang juga menyapa tiap kami berpapasan. Sifat friendlynya secara gak langsung mengusir rasa canggung yang kadang mampir tiba-tiba.

Aku menggeleng lalu mengangguk. "Kamu sendiri kok belum pulang?"

"Yang bener yang mana, nih? Gelengan apa anggukan?" tanyanya dengan sorot jahil. "Iya, ada yang ketinggalan."

Aku tertawa tanpa suara. "Gelengan buat gak kaget, anggukan buat nunggu jemputan," terangku menjawab kebingungannya. Lama Jiro diam dan gak kunjung beranjak, aku kembali bertanya heran. "Yang ketinggalan udah diambil?"

Aneh melihat dia malah duduk seraya memainkan ponselnya dengan tenang dan gak langsung mengambil barang yang katanya ketinggalan.

Mengerti keherananku, Jiro malah tertawa seraya mengambil kunci motor di saku seragamnya. "Kalau ketinggalan barang mah enak, Sas. Aku ambil langsung pulang, lah ini pemilik ini kunci yang ketinggalan."

Replika Hati (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang