13. SACHI : KEMELUT

10 2 0
                                    

"Gendeng, Kak Zayyan langsung bilang gitu?" tanya Mita tergelak. Bahunya terguncang naik turun akibat tawanya.

Aku menghembuskan nafas berat. Lalu mengangguk lesu. "Aku kayak kena mantra sihir tau gak, sih, Ta," keluhku menyandarkan punggung ke tiang gazebo. "Mimik Kaivan waktu itu kayak arwah gentayangan, suka muter-muter melulu di kepala."

Kejadian yang gak pernah aku prediksi memang sudah seminggu berlalu. Tapi raut kaget Kaivan waktu Kak Zayyan memberitahu aku ini adiknya, masih membayangi pikiranku.

Bagaimana mimik terkejutnya, bagaimana sikapnya yang jadi lebih dingin, dan bagaimana caranya menatap aku, sama sekali gak bisa aku artikan. Aku merasa seperti ada sesuatu yang salah dengan responsnya saat itu.

Saat tanpa sengaja papasan Sabtu kemarin di lorong sekolah, sikapnya masih seperti sebelumnya, Kaivan yang gak pernah menyapa, Kaivan yang gak peduli, dan Kaivan yang selalu bersikap antipati.

Mungkin bagi dia, terjebak hujan  bersama sachi Calliandra gak merubah tatanan hatinya, bahkan jadi sesuatu yang gak perlu diingat. Berbanding terbalik dengan yang aku rasakan, tiap lihat jaketnya yang tergantung dilemari kamar saja membuat pikiranku kacau.

Mita lagi-lagi tergelak hebat. Aku jadi takut dia kesambet sore-sore gini, mana di rumah gak ada siapa-siapa.

"Kasihan banget, sih, temen aku ini. Sumpah, Ndul, aku juga lagi mendem perasaan, tapi gak tragis banget kayak percintaanmu gini."

Aku melempar kacang mede kepangkuan Mita. "Gak usah ngeceh, kita masih sepenanggungan asal kamu tau," ujarku kesal.

Aku dan Mita memang seperjuangan dan sepenanggungan, kami sama-sama menyukai cowok dan gak berani mengutarakannya, tapi Mita jauh lebih beruntung karena bisa berkomunikasi layaknya teman, terkadang dia juga masih mendapatkan perhatian tak kasat mata. Sedangkan aku hanya bisa benar-benar menyukainya tanpa interaksi apapun.

Mita menggeser duduknya kearahku. "Terus gimana itu jaket, mau kamu kembalikan apa buat jimat di kamarmu?"

"Gak tau, pokoknya dalam waktu dekat, aku gak mau balikin."

"Arek edan! Itu bukan lagi cinta, tapi obsesi. Tapi tumben Kak Zayyan niat banget ngelurusin kesalahpahaman yang udah buletin kayak susur gitu? Padahal kalau ada Della dan yang lain malah sikapnya kayak pacar posesif."

Aku mengedik singkat. "Mana pernah, sih, Ta, aku bisa nebak pola pikirnya Zayyan Farubi yang semrawut itu," pungkasku akhirnya.

"Mungkin gak, semua gara-gara obrolan mereka waktu di Thailand itu?" tebak Mita.

Aku langsung menegakkan tubuh saat mengingat sesuatu. "Kemungkinan iya."

"Terus kamu tau gak apa yang mereka bicarain waktu itu? Udah kamu korek belum ke Kak Zayyan?" lontar Mita berpendapat.

Aku menggeleng lesu. "Waktu aku tanya, dia gak mau terus terang, dia cuma bilang, ya ngobrol biasa," ungkapku meniru nada bicara Kak Zayyan waktu itu.

"Mumpung jaketnya Kaivan ada di kamu, gak sekalian aja di guna-guna? Biar dia klepek-klepek, atau tiap malem jaketnya udah kamu ajak bobok cantik?" ejek Mita.

Aku bergidik geli. "Sinting kamu, Ta. Gak gitu juga kali," sanggahku gak terima tuduhannya.

"Halah, jujur aja aku gak papa kok, Ndul, pakek malu segala," goda Mita semakin menjadi.

Astaga, kedua pipiku langsung panas mendengar godaan Mita. Jujur aku memang berat mengembalikan jaket Kaivan, jaketnya saja sengaja gak aku cuci, agar aku bisa mencium wangi parfum yang masih menguar itu.

Replika Hati (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang