Seorang psikolog sosial Amerika, Peter Salovey pernah mengemukakan pendapat bahwa cemburu merupakan emosi yang dialami ketika seseorang merasa hubungan dengan pasangan terancam dan mengakibatkan hilangnya kepemilikan akibat adanya orang ketiga.
Tapi dalam kasus percintaanku ini, apa bisa di katakan aku sedang cemburu? Sedangkan aku dan Kaivan gak memiliki hubungan apa-apa.
Apa ini termasuk perasaan iri? Bukannya cemburu dan iri itu hampir gak ada perbedaannya?
Apapun yang sebenarnya aku rasakan, satu yang pasti, aku belum siap menerima kenyataan bahwa hati Kaivan di tempati nama cewek lain. Titik.
Oke, meski kejadian di kantin sudah sebulan berlalu dan sampai saat ini aku gak melihat reaksi berlebih yang diberikan Kaivan ke Floritta, tapi hatiku ini tetap sakit. Rasa panas selalu menjalar ke ubun-ubun, ulu hatiku langsung nyeri, dadaku berdenyut gak nyaman setiap melihat mereka berdua.
Pengennya, sih, bilang supaya Floritta gak dekat-dekat dengan Kaivan. Tapi siapa aku? Apa hakku hingga mengklaim cewek lain gak boleh dekat dengan Kaivan? Bisa-bisa aku dianggap cewek gila yang terobsesi Kaivan.
Entah ini nafas yang ke berapa aku tarik dan hempas. Pikiranku buntu, bawaannya dongkol banget. Perasaan kemarin ulangan harian gak gini amat rasa sumpeknya. Kepalaku semakin kemebul, hampir meledak rasanya. Surabaya itu panas banget, apalagi disaat posisi matahari diatas kepala ditambah aku duduk sendirian dikursi panjang tempat parkir yang hanya di tumbuhi beberapa pohon yang gak begitu rindang. Gak jadi daging panggang saja Alhamdulillah.
"Kok masih disini?"
Aku menoleh kaget melihat cowok berhidung mancung membungkukkan badan dengan kedua tangan bertumpu ke sandaran kursi yang aku tempati.
Ah, cowok ini. Kalau boleh memutar waktu dan memilih aku akan menghapus kriteria yang gak langsung tertulis dalam spesifikasi seorang Sachi Calliandra dalam menentukan kriteria cowok idaman.
Bukan, bukan karena laki-laki disampingku ini gak baik dan gak pintar. Dia sangat baik, ramah, cerdas dan good looking. Tapi hatiku juga gak kunjung berbunyi klik meski akhir-akhir ini kami begitu dekat.
Chasel Abrani. Cowok berkepribadian mengagumkan dengan segala daya tarik.
Sudah aku bilang dia good looking, gak kalah dengan Kaivan. Bedanya, wajah Kaivan itu minim ekspresi, Chasel ini wajahnya murah senyum jadi pancaran auranya lebih menyegarkan, enak untuk dipandang lama.
"Hei, kok tambah ngelamun?" Alis Chasel menukik penasaran. Sebaris senyum tipis itu mampu membuat siapa saja salah tingkah. Tapi sayang, aku gak juga terjerat senyum manisnya.
"Hm?" aku menggeleng singkat sebelum seulas senyum aku layangkan. "Nunggu jemputan." Hari ini semua murid dipulangkan lebih awal karena para guru ada rapat dengan yayasan sekolah, jam ditangan masih pukul tigabelas dua-tiga, tapi sekolah sudah sangat sepi.
Chasel nampak mengangguk-angguk. "Aku temenin kalau gitu." Lantas kaki jenjangnya melangkah kedepan, mengambil duduk disampingku.
Mataku mengedar seperkian detik. "Kemana semua selir-selirmu?"
"Selir?" Dia nampak bingung sebelum tersenyum kecil saat menangkap maksudku. "Ada tugas kerajaan yang harus mereka kerjakan."
Aku hanya ber-oh ria menanggapi kelakarnya. "Kalau ... selirnya sibuk nugas, kenapa Rajanya ongkang-ongkang gini?"
Tawa renyah menguar. Lalu tatapannya beralih menatapku teduh. "Pengen keliling kerajaan nyari Ratu yang baik hati."
"Wah, selain selir juga ada ratunya?" tanggapku menatapnya dengan ekspresi takjub. "Apa ratunya juga sebanyak selir-selir kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Replika Hati (On Going)
Teen FictionDIBACA BUKAN DIPLAGIAT‼️ A Teenlit Story! ------ "Jangan ngejudge orang lain seenaknya, jangan sok tahu kalau isinya nonsense, paling gak jangan katakan apapun kalau kamu gak mengenalku dengan baik. Save your breath!"-Kaivan Dhanurendra- . "Aku suka...