We Can Be Friends (Oneshoot)

301 40 0
                                    

Happy reading~
.
.
.

Untuk kesekian kalinya, Hinata melirik jam dinding. Sudah lewat dua jam dari waktu yang ia beritahukan dan belum ada satu teman kelas pun datang. Mereka juga tak bisa dihubungi, baik lewat chat pribadi maupun grup chat kelas. Padahal acara yang ia buat hari ini adalah atas request dari mereka semua.

“Hinata, minggu depan kau ulang tahun ‘kan?”

“Iya..”

“Buatlah pesta di rumah besarmu. Kami sekelas akan datang merayakan.”

“B-benarkah?”

“Tentu! Buat yang meriah ya!”

Satu jam pertama Hinata mengira mereka hanya terlambat, tapi... sekarang ia sadar kalau ternyata dirinya dikerjai. Seperti biasa. Harusnya ia bisa memprediksi ini lebih awal. Lagipula bukankah mencurigakan terlambat datang secara bersamaan? Sudah pasti disengaja.

Kadang Hinata lelah juga hidup begini.

Setelah kedua orang tuanya dengan keji difitnah menjadi dalang dari pembantaian suatu panti asuhan dan berakhir menjalani hukuman mati, Hinata sebagai si anak tunggal lantas terkucilkan. Sudah berjalan empat tahun, tapi cara orang-orang memandangnya masih sama. Memandang seolah ia adalah titisan monster.

Yang Hinata miliki sekarang hanyalah rumah besar ini dan dua orang asisten rumah tangga. Dua orang bak keluarga sendiri itu tak meninggalkannya, sebab mereka tahu majikan mereka adalah orang baik. Mustahil merupakan otak di balik kejadian tragis itu.

Beruntung warisan mendiang orang tua Hinata mampu menunjang kehidupan sang putri selama ini. Hinata tidak perlu khawatir soal uang bahkan untuk beberapa tahun ke depan meskipun dirinya belum bekerja.

Namun... uang saja tidak cukup. Gadis itu kesepian.

Pikiran untuk mengakhiri hidup sering kali terlintas, tapi itu bukan jalan keluar yang bagus. Ada tekad lain yang lebih kuat dibanding bunuh diri. Menjadi sukses dan mencari orang yang telah tega mengkambinghitamkan orang tuanya. Ia akan membuat orang itu dihukum seberat mungkin. Lebih berat dari hukuman mati kalau bisa.

Namun itu nanti. Sekarang ia masih anak SMA tingkat akhir, belum memiliki power. Harus belajar sangat giat untuk bisa menggapai impian tersebut. Walau murid-murid sekolah yang mengetahui latar belakang keluarganya turut menghina setiap saat, ia takkan menyerah untuk terus bersekolah.

“Bibi, ini semua Bibi makan saja ya. Aku mau tidur.”

“Tapi Nona-”

“Tidak apa-apa. Terima kasih, maaf merepotkan.”

Hinata bangkit, ingin secepat mungkin menyingkir ke kamar dan mengubur diri di kasur. Menangisi nasibnya keras-keras di balik selimut tebal sampai besok. Tapi keinginan itu tak tercapai ketika maid-nya yang lain sedikit berlari menghampiri dari arah pintu utama.

“Nona, ada yang datang.”

“Se-serius?”

Meski ada rasa ketidakyakinan, Hinata tetap tergesa mengayun langkah ke luar rumah. Perlu memastikan bahwa seseorang benar-benar datang ke acara ulang tahunnya. Tamu pertama dan mungkin satu-satunya.

Namun... tunggu, apa mata Hinata tidak salah lihat? Uchiha Sasuke adalah orang terakhir yang sang gadis pikirkan akan hadir hari ini. Namun pria itu di sana. Menunggu untuk segera dipersilakan masuk.

Seingat Hinata, interaksi antara dirinya dengan Sasuke sangatlah minim. Pernah sekali sekitar dua bulan lalu, ketika pria itu sakit dan ia menemani di UKS, lalu pulangnya mereka mampir ke sebuah toko pernak-pernik bersama.

SasuHina CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang