# sebuah informasi

171 84 49
                                    


Hai!! Apa kabar??

Oh ya! Ini bukan up ya!

Jadi disini saya ingin membahas beberapa hal.

Sebelum itu, ada yang bertanya pada saya. Dia bertany tentang: "bagaimana cara tokoh utama pria (Katsuro) dan tokoh utama wanita (Rinjani) dapat saling berkomunikasi?"

Dan saya akan jawab.

Rinjani itu penyandang disabilitas tunarungu, dia tidak dapat mendengar atau berucap, dalam kehidupan sehari-hari, dia memakai bahasa isyarat.

Untuk bahasa isyarat sendiri, ternyata pertama kali diajarkan pada abad ke 16 oleh dokter Geronimo Cardano yang berasal dari Padua, Italia. Dan untuk penelitian bahasa Isyarat di Indonesia baru dilakukan pada tahun 2000 an.

Menurut informasi yang saya baca. Bahasa isyarat itu tidaklah bersifat universal. Sama seperti bahasa lisan, setiap negara (bahkan daerah disuatu negara) pasti memiliki bahasa isyarat tersendiri. Tiap daerah atau bahkan kota di Indonesia pun bisa saja punya ragam bahasa isyarat khas kalau ada komunitas Tuli yang cukup signifikan. Di Indonesia, seperti yang sudah disebut, ada bahasa isyarat Jakarta, bahasa isyarat Yogyakarta, Kata Kolok (bahasa isyarat Bengkala), dan lain sebagainya.

Secara genealogis, hampir seluruh ragam bahasa isyarat (urban) Indonesia kemungkinan berakar pada satu leluhur yang sama, dan kelompok ragam-ragam bahasa inilah yang disebut BISINDO. Khusus Kata Kolok, bahasa ini merupakan bahasa isolat yang tidak memiliki hubungan genealogis dengan bahasa manapun di dunia.

Untuk bahasa Isyarat Internasional, kini memang sedang diusahakan, yaitu yang dinamakan sebagai Gestuno atau Pidgin atau International Gesture (IG), yang digagas oleh WFD (World Federation of the Deaf), yang merupakan organisasi tuna rungu internasional.

Namun ada beberapa penghambat, salah satunya adalah tidak serta merta diterima oleh seluruh dunia, dan muncul berbagai kritik maupun pihak2 lain yang mengklaim bahwa bahasanya sendiri lebih pantas menjadi bahasa isyarat internasional, dan muncul anggapan hal tersebut tidak terlalu dibutuhkan.

Si WFD berusaha mempopulerkan bahasa Pidgin atau Gestuno tersebut agar diterima dan mendunia yaitu dengan menjadikan bahsa Pidgin sebagai bahasa resmi di event2 internasional seperti pemilihan 'abang & none' dunia khusus tuna rungu (Miss & Mister Deaf World), event olympic bagi tuna rungu (Deaflympics) maupun event2 seperti kongres internasional tuna rungu.

Pertanyaan ini pula merupakan pertanyaan yang pernah diajukan oleh MITV UI (Markara Internet TV Universitas Indonesia) kepada Ibu Silva, seorang juru bahasa isyarat dan dosen jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di Universitas Indonesia.

Bu Silva berpendapat bahwa bahasa isyarat bukan bahasa universal. Begini jawaban dari Bu Silva sebagai berikut:

"Sebenarnya mudah saja. Seperti bahasa lisan, apakah kita mau memiliki bahasa lisan satu di seluruh dunia? Karena bahasa menunjukkan identitas, kebangsaan kita, dan juga menunjukkan dunia tempat kita hidup. Tidak mungkin bahasa itu disamakan di seluruh dunia karena kita memiliki budaya yang berbeda. Sama dengan bahasa isyarat, bahasa isyarat tumbuh di komunitas Tuli yang berbeda-beda budayanya di dunia ini. Sehingga tidak mungkin bahasa isyarat disamakan secara universal."

Sama seperti bahasa lisan, bahasa isyarat juga tumbuh berbeda-beda di setiap negara. Kata isyarat, struktur kalimat isyarat, penyebutan kata isyarat, dan ciri khas semuanya berbeda-beda dan tidak sama. Misalnya BSL (British Sign Language), ASL (American Sign Language), FSL (French Sign Language), BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia), Bahasa Isyarat Kolok di Singaraja (Bali), Quebec Sign Language di Kanada, dan banyak sekali. Bahkan Kanada punya 3 bahasa isyarat berbeda-beda, yaitu ASL, Quebec Sign Language, dan Inuit Sign Language.

Maka dari itu, dapat disimpulkan memang benar ada bahasa isyarat internasional, hanya saja penggunaanya belum meluas. Apalagi jikalau diingat-ingat bahasa isyarat internasional ini ditemukan baru-baru ini, maka.. karena latar cerita yang saya ambil itu pada saat penjajahan Jepang, jadi untuk alat komunikasi Rinjani dan Katsuro itu tidak benar adanya.

Kalau di dunia nyata itu kemungkinan kecil dapat terjadi. Kalaupun iya, Rinjani mungkin memakai bahasa isyarat yang diajarkan oleh keluarganya, karena pada saat itu belum ada BISINDO. Sama seperti Rinjani, Katsuro juga begitu, Katsuro belajar bahasa isyarat dari keluarganya karena sang ayah adalah penyandang disabilitas tuna wicara. Dan itu berkemungkinan kecil untuk keduanya saling dapat mengerti, walau memang ada beberapa gestur yang sama arti.

Sejujurnya saya juga awalnya bingung. Rinjani ini bisu, Katsuro ini warga asing, bagaimana mereka dapat berkomunikasi satu sama lain?

Setelah saya pikir-pikir. Ini dunia Oren. Cerita ini fiksi. Jadilah.. saya buat Rinjani dan Katsuro dapat berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.

Itulah jawaban saya.

Catatan kecil:

Maaf jikalau ada salah kata, ataupun kesalahan latar, tempat, dan waktu. Maklumlah, saya ini bukan seorang sejarahwan. Saya hanya seonggok daging muda yang tertarik untuk membaca tentang hal masa lampau.

Saya tak punya guru khusus. Saya ini murid otodidak yang berguru dan belajar dari Gugel dan buku, mungkin lebih-lebihnya saya dapat dari perkataan bapak saya.

Ada beberapa hal yang mungkin meleset dari kenyataan, karena ini cerita fiksi, bahkan tokoh dalam cerita inipun tak pernah hidup di bumi, maka maklumlah.

Maklumlah.

Dan maklumlah.









Hanya itu dari saya ...

Sebagai bocoran; untuk jalan cerita selanjutnya saya berencana untuk menaruh beberapa bubuk pedas.

... Dan terimakasih.


















kawan dapat salam
sayang dari hamba ini

Rieke/Rie

12 September 2023




















12 September 2023

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

©riekamput

💐🌷🌹

RABUSUTORI | 1942Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang