#x. satu keluarga

159 58 270
                                    

"Anak jantan, tak boleh menangis"

"Anak jantan, tak boleh menangis"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~•~

Kata orang, tak kenal maka tak sayang.

Dan itu memang benar adanya. Lihatlah Sutaryo sekarang, bapak itu kini tengah dihibur setelah mendengar lelucon yang Katsuro buat.

Meski Katsuro itu tampak dingin, tetapi pemuda ini ternyata pembuat lelucon yang handal, ia bahkan memiliki selera humor yang tinggi. Katsuro itu diibaratkan seperti buah kelapa, hanya keras cangkangnya saja, namun bukan isinya.

"Oh ya paman, saya hampir saja lupa. Saya membawakan teh hijau yang memang berasal asli dari negeri tempat saya tinggal. Teh ini sangat bermanfaat, dan dapat membuat pikiran kita tenang, dari pada terus menghisap asap tembakau yang tak murah juga tak aman, lebih baik paman meminum teh ini. Jikalau paman suka, saya akan bawakan lebih" sebuah kantung Katsuro keluarkan dari saku bajunya. Kantung itu berisi daun teh yang memang telah diolah menjadi teh tubruk siap pakai.

"Terimakasih karena telah memperdulikan kesehatan lelaki tua ini" Sutaryo dengan senang hati membuka lengangnya untuk menerima pemberian Katsuro.

Sutaryo memanggil Ayumi, tak lama dari itu gadis muda itu muncul dengan pakaian kain merah mudanya dari dalam rumah. Wajah gadis itu tak terlalu jelas karena ia terus menundukan pandangan. Sutaryo memberikan kantung berisi teh itu pada lengan ramping Ayumi seraya berkata "tolong buatkan ini untuk kami" Ayumi mengangguk membalas "Iyo pak" sebelum punggung kecil miliknya ditelan kembali oleh pintu rumah yang terbuka lebar.

"Sudah lama bapak ingin menanyakan ini padamu" suara berat agak serak milik Sutaryo kembali terdengar memecahkan keheningan selepas kepergian Ayumi ke dalam. Sutaryo kini mengarahkan wajah dan pandangannya untuk melihat wajah rupawan pemuda Katai yang sedari tadi menatap dia.

Suara berat tetapi lembut pula terdengar dari mulut Katsuro, untung saja ia sudah dapat memperlajari bahasa masyarakat setempat, sehingga Katsuro dapat dengan mudah berkomunikasi dengan calon ayah mertuanya. Dengan sopan dan rendah diri, walau begitu tetap terlihat gagah dan kharismatik, Katasuro membalas "Hal apa gerangan yang membuat paman bertanya-tanya?"

Dalam sekali tarikan nafas, Sutaryo bertanya "apakah benar jikalau ayahmu adalah seorang Jenderal?" Katsuro mengagguk dan mengaku "benar paman" menjeda kalimatnya, Katsuro melanjutkan "kira-kira jikalau saya boleh tau, dari mana paman mengetahui hal itu?"

Helaan nafas panjang keluar dari hidung Sutaryo, lelaki tua itu kembali mengarahkan pandangannya menuju langit diatas kepala yang berwarna semu merah jambu. "Lelaki tua ini diam-diam mengawasi gerak-gerik mu, jikalau aku lihat, kau sering keluar bersama putra juga putri Jenderal Dai Nippon, aku kenal karena pernah mendengar namanya, nama Jenderal itu adalah Ishikawa Takashi yang sangat disegani juga dihormati, putra-putrinya pula sangat dihormati juga dikagumi sehingga setiap kali mereka menginjakkan kaki, disanalah kepala-kepala tertunduk. Jangan kira lelaki tua ini bodoh, dilihat dari kedekatan kalian, tampaknya kalian masih memiliki hubungan kekeluargaan, lalu mengapa jikalau kau berjalan sendirian diatas bumi, kepala-kepala itu tidak tertunduk seperti biasa"

RABUSUTORI | 1942Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang