27

3.3K 435 70
                                    

Lisa membanting tasnya dengan asal. Ia tidak pulang ke apartemen dan memilih untuk kembali ke rumahnya. Bangunan besar itu tampak sepi, hanya ada puluhan bodyguard yang berjaga-jaga di setiap sudut, juga beberapa maid yang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Mereka saling bungkam, membuat suasana rumah tersebut terasa sunyi dan suram meski puluhan manusia tinggal di dalamnya.

"Dasar tidak punya sopan-santun!"

Lisa terbelalak kaget saat mendengar suara bariton yang terdengar tegas itu. Ia menoleh dan mendapati sang ayah berdiri di ujung tangga dengan sang kakek di sampingnya. Sial! Kenapa Lisa bahkan tidak menyadari jika ada ayah dan kakeknya di rumah? Ia tidak sempat melihat keberadaan mobil ayahnya di luar, karena terlalu larut dalam emosinya.

"Maafkan aku, dad" Lisa buru-buru mengambil kembali tasnya yang tergeletak di lantai dan merapikannya.

Marco hanya menatap Lisa dengan datar.

"Sebentar lagi kau kelas 12. Persiapkan dirimu. Aku sudah memberikan list universitas terbaik untuk kau masuki. Jika kau tidak lolos dalam salah satunya, kau tau apa akibatnya" Marco melemparkan beberapa berkas mengenai universitas yang nantinya harus Lisa masuki.

Lisa hanya bisa pasrah saat meraih tumpukan berkas tersebut. Padahal, ujian kenaikan kelas saja belum dimulai. Tapi, ayahnya sudah menuntut Lisa sedemikian rupa. Jari panjangnya bergerak membolak-balikkan tumpukan kertas tersebut. Jelas, semua isinya merupakan formulir pendaftaran dari semua universitas bergengsi di dunia. Mulai dari Harvard University, Oxford University, Stamford University dan masih banyak lagi. Semuanya berkualitas tinggi, tentu banyak orang ambis yang ingin masuk ke sana, termasuk Lisa

Ah ralat. Lebih tepatnya, itu semua keinginan ayah Lisa. Jika boleh jujur, Lisa lebih ingin berkuliah di Korea saja. Toh, banyak universitas yang juga bagus di sini. Tapi, apa daya. Dirinya tidak bisa melawan perintah ayahnya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menuruti permintaan pria itu.

"Nde, dad. Lisa akan berusaha semaksimal mungkin untuk lolos" kata Lisa.

"Kau harus!" tekan Marco, sebelum akhirnya ia melenggang pergi entah kemana bersama William.

Lisa tidak terlalu mempedulikan kemana ayah dan kakeknya akan pergi. Ia memutuskan untuk naik ke kamarnya dengan menenteng tas serta berkas formulir pendaftaran di tangannya.

Saat akan menuju kamarnya, Lisa tidak sengaja melihat pintu sebuah ruangan terbuka. Ia penasaran, sebab selama ia hidup di rumah besar ini, pintu itu selalu tertutup. Dengan langkah pelan, Lisa memasuki ruangan itu. Gelap, kesan pertama yang Lisa rasakan. Namun, seiring berjalannya waktu, pandangannya mulai terbiasa. Rupanya, hanya sebuah kamar tidur biasa, entah siapa pemiliknya. Lisa tidak pernah melihat seseorang masuk ke sini, kecuali maid.

Lisa tidak begitu tertarik untuk menelusurinya. Ia hendak keluar, namun terhenti saat tanpa sengaja matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di dalam tempat sampah. Karena penasaran, Lisa hendak mengambilnya. Tiba-tiba, suara derap langkah dari sepatu pantofel terdengar. Ia sangat yakin bahwa ayah atau kakeknya sedang berjalan mendekat. Lisa tidak ingin mencari masalah, sehingga ia memutuskan untuk buru-buru pergi meninggalkan ruangan itu dan langsung masuk ke kamarnya. Mengabaikan benda kecil yang sempat mencuri perhatiannya di dalam tempat sampah.









***

Di sebuah kamar yang cukup luas, terlihat seorang gadis yang tengah duduk di tepi ranjangnya sembari memegang satu benda kecil di tangannya. Ia hanya diam sembari terus mengamati benda tersebut.

Sedetik kemudian, ia bangun dari posisinya dan menancapkan benda kecil tersebut pada CPU yang terpasang pada komputer miliknya. Saat ada pemberitahuan bahwa flashdisk tersebut sudah terpasang pada device, jari lentiknya menggerakkan mouse ke arah folder dan menekannya. Beberapa potong video mulai terputar di sana, menampilkan beberapa orang yang entah siapa saja.

Villain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang