Psikosis

2.8K 271 127
                                    

Apartemen yang terbilang cukup mewah bagi Haechan itu benar-benar sepi. Haechan tidak berani menyalakan TV kembali, setia menunggu Jeno yang masih bekerja. Sesekali Haechan membuka jendela kamar tersebut dan menghibur diri dengan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. 

Jeno yang baru saja kembali dari kantornya sambil membawa sekotak goreng ayam di tangannya, terkejut karena Haechan tiba-tiba berlari mendekati dirinya.

"Jeno! Akhirnya kau pulang..!"

Jeno mengernyit heran, "Iya aku pulang Chan.. kenapa? Kau tampak panik?"

"Jeno... aku tadi menonton TV dan kebakaran di apartemenku diberitakan memakan satu korban! Dan aku mendengar sendiri namaku disebut sebagai korban meninggal Jen! Ini tidak masuk akal bukan? Kau harus mengantarku ke kantor polisi untuk membantah berita gila itu!"

"Hei, hei.. Haechan tenang dulu.. kau yakin Chan? Bukankah sudah kukatakan TV-ku rusak? Bagaimana caramu menonton TV?"

"Tidak Jen, TV-mu tidak rusak, kabelnya hanya lepas. Aku memasangnya kembali tadi, lihat saja.."

Haechan meraih remote TV dan menekan tombol power. Namun TV itu tidak menyala. Haechan kembali menekan tombol sambil maju mendekati TV tersebut namun tetap saja layarnya gelap dan hitam. Haechan beralih ke bagian belakang TV dan memeriksa kabel dibaliknya, namun semua kabel nampak terpasang rapi, tetapi kenapa TV-nya tidak menyala?

Jeno memegang kedua bahu Haechan, menariknya untuk duduk di sofa.

"Haechan, itu rusak. Lihat sendiri bukan? TV-nya tidak akan menyala.. apa kau berhalusinasi lagi?"

Haechan menggeleng.

"Tidak Jeno, aku sungguh-sungguh! Aku menonton beritanya tadi! Kau tidak akan percaya padaku bukan? Aku tahu! Kau tidak pernah mempercayai ucapanku sedikitpun! Sudahlah, biarkan aku pergi Jen, aku akan pergi sendiri ke kantor polisi.."

Haechan beranjak dan hendak pergi, membuka pintu apartemen tersebut.

Brakkkk.

Haechan terkesiap. Jeno menutup pintu yang baru saja dibuka Haechan dengan kuat. Haechan bisa merasakan Jeno berdiri tepat di belakang tubuhnya. Jantung Haechan berdegup lebih cepat. Jeno aneh.

"Jangan pergi, jangan kemana-mana, ya?"

Jangan kemana-mana... jangan kemana-mana....

Haechan berbalik, menghadap tubuh Jeno yang mengungkung tubuhnya dengan kedua lengan kekar yang masih bertumpu pada pintu. Mata Haechan melebar mendengar kalimat yang diucapkan Jeno.

"Jen... kau, ng, aku harus pergi.. aku akan kembali atau kau mungkin bisa mengantarku saja? A—aku cuma ingin memberitahukan pihak berwajib bahwa aku masih hidup...tidak mati seperti yang diberitakan.."

Haechan mengatur nafasnya yang mulai tercekat, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Jeno semakin mendekatkan tubuhnya pada Haechan yang mulai gemetar. Berbisik pelan di telinga Haechan.

"Tidak boleh.. tidak boleh pergi... jangan kemana-mana ya? Manis..."

Mata Haechan membola sempurna. Pria didepannya ini... siapa? Tidak mungkin bukan? Beberapa kali pria gila bermasker itu mendatangi Haechan saat ada Jeno yang tertidur di ranjangnya. Tidak mungkin itu Jeno... Haechan pening, sakit kepala kembali menyerang membuat Haechan mengerang sambil meremat kepalanya dan rambutnya sendiri. Memejamkan mata kuat-kuat menahan nyeri, tubuhnya luruh hingga terduduk di lantai. Haechan merasakan kepalanya berdenyut-denyut dan sedikit berputar. Haechan menundukkan kepalanya diantara lututnya yang terkekuk. Meringis beberapa menit lamanya.

"Haechan.. Haechan kau kenapa? Kau oke?"

Haechan mendongak mendengar suara yang familiar di telinganya. Membuka mata tidak percaya dengan pria yang kini berjongkok di hadapannya.

WITNESS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang