Suasana panas di depan Toko Buku Melawa sudah selesai, para orang tua berhasil yakin dan bubar dengan sendirinya. Dengan berat hati, aku berkewajiban menepati janji, entah kini atau nanti.
Aku dan Redum memutuskan untuk jalan berdua, sekadar mengelilingi jalanan kota Melawa untuk mengisi kekosongan waktu. Sebetulnya ini saran Redum karena telah mengacaukan suasana hatiku.
Aku merasa bersalah. Ketika Redum bertanya dan menduga bahwa aku adalah Pangeran tersebut, aku marah padanya. Aku berteriak di depan wajah Redum; dia tidak boleh ikut campur urasanku. Bahkan jawaban yang aku sampaikan sangat jauh dari topik pertanyaan.
Redum sekarang sedang berbicara, dengan penuh antusias dia menceritakan kehidupannya di kota Butas sebelum pindah KKN di Melawa. Masa kecilnya hingga remaja sangat bahagia, katanya, meski hanya hidup bersama sang ayah. Namun, aku tak begitu memerhatikan sebab pikiranku penuh oleh rasa bersalah.
"Hey?"
Langkah Redum berhenti, membuat aku juga ikut menatap wajahnya. Aku berusaha tersenyum kecut untuk membalas wajah tenang Redum. Tangan Redum terangkat menggapai bahuku, lalu mengusapnya pelan.
"Sudahlah, kau tak perlu merasa bersalah sedalam ini."
Aku menggeleng tidak terima. "Aku takut menjadi monster yang menyeramkan bagimu, Redum."
"Aku tidak takut kepada monster itu," ucapnya penuh bangga.
"Mengapa demikian?"
"Karena sampai detik ini aku masih bertahan hidup bersamanya."
Aku semakin tidak mengerti saat Redum berkata demikian. Setelah itu, dirinya mengajakku kembali melangkah.
"Selama 20 tahun aku hidup, kupikir sakit yang Papa rasa merupakan komplikasi dalam tubuhnya. Akibat dari bertambahnya umur dan kelumpuhan. Dokter juga jarang ada yang berhasil menemukan penyebab kesakitan Papa. Namun, seperti yang kau katakan, Papa memiliki penyakit misterius yang sama denganmu, Pangeran Andrew." Redum menekankan panggilan akhir.
"Dan, yap. Selama 20 tahun itu telah kulewati berbagai macam rintangan, mulai dari amarah Papa, agresifnya, bahkan tak jarang jika dia kesal aku akan mendapat pukulan. Sebelum akhirnya Papa sering kesakitan seperti kemarin. Tidak pernah terbesit sedikitpun keinginan untuk meninggalkan Papa, meski jika ingin berkata aku lelah menghadapi sikap Papa yang kerap berubah tanpa pertanda."
"Itu artinya ..." Redum menggantungkan kalimatnya, menatap manar mataku cukup dalam. "Aku tidak akan pernah takut padamu karena aku sudah terlatih menjadi manusia kuat!"
Gadis ini kuat sekali. Mampu melawan hiruk pikuknya dunia, terlebih harus menghadapi berbagai masalah. Aku yakin, Redum pasti sakit hati saat ayahnya dijauhi oleh semua warga. Walau Redum belum menjadi orang yang mengerti sepenuhnya, ia tetaplah anak perempuan yang menyayangi ayahnya.
"Eh, maaf."
Alisku bertaut saat Redum tiba-tiba meminta maaf, sementara dirinya tidak membuat salah apa pun, bahkan perkataannya tadi tidak menyinggungku sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palimpsest
Teen FictionPada sebuah senja yang hampir menampakkan lembayung, Gamang Bumantara terus merapalkan sebuah kalimat yang kemudian ia curahkan di atas kertas lusuh. Membiarkan alam bawah sadarnya menguak berbagai fakta terkait penyakit dan rahasia di negaranya. K...