⋆⠀҂҂⠀๑⠀، 🌷୭
"Bawakan Kapten Adikara untukku, sekarang."
Raja memerintahkan kepada ajudannya untuk membawa Kapten ke ruang khusus, seperti tempat untuk pelaksanaan ritual Totoyam. Aku baru mengetahui adanya ruangan ini sekarang.
Sejumlah 20 nyawa manusia akan dipertaruhkan, mereka berjajar di depanku, berbatas pagar tralis seperti dalam penjara. Aku memandangnya satu per satu wajah mereka yang ketakutan, juga Eminser, temanku yang rela berkorban untuk orang lain. Namun, lelaki itu justru tidak terlalu menampilkan wajah cemas.
Aku sudah menemukan perempuan dengan ciri-ciri yang sempat diceritakan oleh Ruga. Cantik, berambut cokelat pendek, dan memiliki wajah yang cenderung oval.
"Papa sudah tidak bisa terduduk, Yang Mulia."
Suara itu menggubris fokusku. Aku menoleh, medapati Redum yang mendorong kursi roda Kapten Adikara. Katanya, sakit yang Kapten rasa semakin menyiksa, walau beberapa waktu lalu sempat membaik saat menghampiri sahabatnya yang terbunuh.
Omong-omong, belum ada yang mengetahui terkait tragedi pembunuhan di istana. Semua orang memilih bungkam daripada masuk ke lubang kemaslihatan.
"Topang tubuhnya. Paksakan dia untuk duduk," perintah Raja.
Redum menurut. Dia mendudukan Kapten Adikara di permukaan tanah. Beliau sempat merintih kesakitan. Redum berusaha sebisa mungkin untuk membuat Kapten Adikara bersandar di dada bidangnya.
"Engkau akan pulih sebentar lagi, Pa," bisik Redum yang tak sengaja terdengar di telingaku.
Sudah lama aku tidak berduaan dengan wanita tangguh itu. Kami masih menjadi sepasang kekasih, dan akan tetap selamanya begitu. Akhir-akhir ini aku sibuk membantu Papa mempersiapkan 'ritualnya', juga Redum yang menemani masa kekritisan Kapten Adikara.
"Andrew, kau juga."
Kami membentuk formasi seperti jam pasir. Aku dengan Kapten Adikara sejajar, di tengah ada Papa bersama sebuah kendi yang sedari tadi mengeluarkan asap, dan di belakang Papa adalah jeruji berisi 20 nyawa yang akan ditumbalkan oleh Papa.
Langit mulai menggelap tatkala Papa merapalkan beberapa kalimat yang tidak dapat dimengerti, aku bisa melihatnya karena ruangan ini tidak memiliki atap.
Alisku bertaut tidak mengerti, gerakan yang Papa lakukan semakin aneh rasanya. Aku sedikit takut, tetapi 20 nyawa itu pasti lebih takut dariku, sementara Redum memejamkan matanya.
"Ogaraka, rakhajra maredaszaka. Kunda pundu suda bugu."
Sambaran petir mulai menggelegar. Awalnya kupikir hujan badai akan turun sebentar lagi. Namun, rupanya tidak. Kilatan tersebut menyambar kendi berasap. Tak lama ada cahaya yang membuat empat buah garis; dua kepada penjara, satu ke arah Kapten Adikara, dan satu lagi kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palimpsest
Teen FictionPada sebuah senja yang hampir menampakkan lembayung, Gamang Bumantara terus merapalkan sebuah kalimat yang kemudian ia curahkan di atas kertas lusuh. Membiarkan alam bawah sadarnya menguak berbagai fakta terkait penyakit dan rahasia di negaranya. K...