⋆⠀҂҂⠀๑⠀، ⚘୭
Rencana hari ini; berbincang sepanjang hari bersama Redum. Jadwal ini sudah kami rancang kemarin, melewati beberapa argumen kuat. Redum beralasan tidak bisa dari pagi karena tugasnya harus dipenuhi—sebagai guru magang. Kemudian kami juga sempat mendebatkan bagaimana dengan ayahanda Redum jika ditinggal seharian, tetapi hal ini sudah ditemukan jalan keluarnya. Salah satu dari ketiga kawan lelaki Redum akan pulang untuk menjaga.
"Kak Gamang," panggil seseorang dari samping.
Aku menoleh, dia seorang remaja yang memakai kacamata, rambutnya terkuncir dua sambil memeluk sebuah buku dengan erat. Aku tersenyum tipis padanya. "Iya?"
Remaja perempuan itu mengulur buku dari pelukannya. "Aku, aku kira salah orang." Dia tampak begitu gugup, bicaranya kurang lancar dan deru napasnya begitu kencang.
"Maukah kau menandatangani bukuku?" tanya remaja ini. Lantas aku mengangguk sembari mengambil buku dan pulpen dari tangannya.
"Tentu saja, apa yang tidak untukmu." Hening sejenak. Remaja itu girang sekali mendapat tanda tanganku, membuat suasana hati ini sedikit gembira karena ada orang yang senang atas kehadiranku.
"Siapa namamu?" Aku ingin membuat kalimat ucapan untuknya.
"Dilla, Kak Gamang."
Aku yakin penuh gadis ini kutu buku, pasti banyak rekan sekolahnya yang pernah merundung dia akibat kegemaran membaca—biasa terjadi di negara Tora.
'Semoga harimu senantiasa disinari oleh mentari yang cemerlang, Dilla.' merupakan kalimat yang aku tulis, tak lupa aku menambahkan gambar senyum bulat pada ujung tulisannya. Setelah itu aku memberikan kembali buku tersebut kepada pemiliknya.
"Terima kasih, Kak Gamang. Semoga harimu menyenangkan." Dia tunduk memberi salam untukku. Lantas aku berterima kasih kepadanya.
Tidak disangka, daerah terpencil seperti ini aku masih bisa dikenal oleh masyarakat. Beberapa orang tadi memang sempat ada yang memanggil namaku, beberapa pula ada yang meminta foto bersama. Aku sudah terbiasa menghadapi penggemar tanpa didampingi Mas Biru, mereka tidak anarkis.
Namun, aku masih merasa miris dengan anak-anak di pedalaman pulau Melawa—pulau pusat pemerintahan. Ketika aku membaca skripsi Kak Selena yang kemarin kutemukan, di sana Kak Selena menuliskan data pulau dengan persenan literasinya. Melawa memang berada di peringkat pertama dengan minat baca paling tinggi, tetapi mengapa masih ada yang buta huruf di sini?
Redum yang bercerita, dia cukup terkejut katanya saat pertama kali mengajar. Semua anak berusia tujuh hingga 14 tahun masih belum lancar menyebutkan deretan huruf di desa ini. Aku jadi membandingkan dengan tingkat pendidikan di daerah pusat kota Melawa.
Tolong, menteri pendidikan, di mana pergerakan Anda? Andai aku bisa menyampaikan kegundahan ini kepada papa.
Mata Redum sudah terkunci padaku, sangat menusuk seperti dua menit lagi akan melayangkan bogem mentah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palimpsest
Teen FictionPada sebuah senja yang hampir menampakkan lembayung, Gamang Bumantara terus merapalkan sebuah kalimat yang kemudian ia curahkan di atas kertas lusuh. Membiarkan alam bawah sadarnya menguak berbagai fakta terkait penyakit dan rahasia di negaranya. K...