Keluargaku semakin aneh.
Kali ini mereka berada tepat di hadapanku, kami sedang sarapan. Sudah setengah jam terdiam membungkam suara. Lupakan kejadian di kamar sebelumnya, Papa sama sekali tidak menjawab pertanyaanku tentang si ketua Panglima termuda.
Kak Selena yang biasanya selalu melempar tatapan hangat, sekarang kosong seperti penuh amarah yang menggebu. Berbalik dengan Kak Martin, dia belum menyudutkan diriku seperti kebiasaannya, bahkan Kak Martin sempat menawarkan ingin mengambilkan lauk untukku.
"Enak, tidak makanannya?"
Aku tersentak mendapat pertanyaan itu dari Kak Martin. Seorang lelaki yang dingin dan selalu menghindariku ini mempertanyakan perihal santapan yang sudah jelas dirinya juga merasakan.
"Kalau tidak, akan aku masakkan terkhusus untukmu, Ndrew," lanjut Kak Martin tanpa menghentikan suapan.
"Ah, tidak perlu. Ini sudah cukup." Aku kikuk.
Sebenarnya tingkah aneh Kak Martin sudah muncul sejak dua hari lalu, saat dia sukarela membantuku berlatih yang akhirnya jatuh pingsan. Namun, aku belum menemukan jawaban atas tindakan Kak Martin yang seperti ini.
Papa berdehem keras, memberi pertanda agar aku segera menghabiskan makanan. Hal ini biasanya dilakukan oleh Mama. Kulihat satu per satu isi piring milik keluargaku, hampir habis.
"Martin," panggil Papa.
Denting antara piring dan sendok Kak Martin berhenti. Dia tampak ketakutan, aku bisa melihat kedua tangannya yang sedikit bergetar.
"Waktu tersisa dua hari lagi. Kamu harus melakukannya tanpa ada alasan apa pun."
Aku ingin tahu, sebenarnya Papa sedang membahas apa. Apa yang dia perintahkan sehingga Kak Martin seperti ragu untuk melakukannya. Aku mengenal Kak Martin adalah orang yang mudah menaati keputusan, tidak sama sekali pernah dia merasa ragu. Selagi perintah dari sang Raja, juga mengingat dia merupakan Putra Mahkota.
Kak Martin beralih menatapku, cukup dalam dan lama. Pacuan jantungku semakin berdegup kencang, apalagi Kak Selena yang ada di sebelahnya juga ikut serta memandangku.
"Baik, Pa. Akanku laksanakan," ucap Kak Martin tanpa menoleh.
Mungkinkah jika mereka ingin melenyapkan diriku? Aku tak masalah jika harus diusir dengan siksaan yang didapatkan, tetapi jika nyawa yang dilenyapkan ...
"Pangeran Andrew."
Tubuhku tersentak. Panggilan dayang menginterupsi rasa takutku.
"Maaf, Tuan. Ada panggilan masuk dari ponsel Anda," katanya memberikan benda pipih.
Aku beranjak supaya bisa mengangkat panggilan tersebut, agar tidak dianggap tak sopan. Sesekali aku juga menoleh ke belakang untuk memastikan keluargaku tidak masih menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palimpsest
Novela JuvenilPada sebuah senja yang hampir menampakkan lembayung, Gamang Bumantara terus merapalkan sebuah kalimat yang kemudian ia curahkan di atas kertas lusuh. Membiarkan alam bawah sadarnya menguak berbagai fakta terkait penyakit dan rahasia di negaranya. K...