O5. Pengenalan Kekasih Redum

17 1 0
                                    

⋆⠀҂҂⠀๑⠀، 🌷୭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆⠀҂҂⠀๑⠀، 🌷୭

Pohon rindang menyapaku melalui runtuhan daun dari batangnya, hembusan angin juga menyuruhku agar bisa meneduh selagi menunggu seorang pujaan hati tiba. Aku melirik jam yang melingkar pada tangan kiri, menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Begitu perintah Redum kepadaku saat aku perjanji akan menemuinya lagi kemarin hari.

Awalnya aku berniat akan menemani satu hari penuh, tetapi dia justru melarang keras dengan alasan takut aku bosan. Pantas saja Redum berkata demikian, pelataran gedung ini saja sangatlah sepi meski waktu sekarang terbilang cukup baik untuk dipakai beraktivitas. Terik matahari juga tidak sakit begitu memapar ke permukaan kulit.

Aku membuka buku bacaan yang kubawa dari rumah untuk mengisi kekosongan waktu, Redum bilang setengah jam lagi akan keluar.

Kalau boleh jujur, selama 20 tahun aku hidup di negara Tora, baru sekarang aku mengetahui ada gedung seperti ini. Letak daerahnya tidak terpencil, tetapi tidak terkenal juga. Halaman cukup luas, tapi terbilang gersang—hanya ada pohon besar di dekatku saja—jika dibandingkan dengan gedung-gedung kota Melawa lainnya. Kemudian fondasi bangunan tampak rapuh, cat dinding pula sudah banyak terkelupas. Aku mengangkat kepala, mulai mengitari pandangan dari ujung ke ujung.

"Milik... pemerintah?" Mataku tertuju pada sebuah plang yang menancap ke tanah, terdapat informasi bahwa bangunan dan tanah ini adalah milik pemerintah kota Melawa.

Yang membuat aku tidak habis pikir, mengapa pemerintah tidak menindak lanjuti sebuah bangunan kepemilikan mereka? Ini sudah terbilang tidak layak pakai lho, mengapa pemerintah diam saja? Sementara tampaknya bangunan ini kerap kali digunakan.

Ah, ada pikiran lain yang mengganggu. Yakni aku ragu jika bangunan berlantai empat ini akan terus bertahan, masih ada kekasihku masalahnya, dan entah sedang apa dia di dalam.

Aku berdiri, menatap sendu ke arah bangunan di depan. Perlahan aku mulai melangkah menghampiri, kepalaku terdongkak ke atas, melihat ketinggian gedung yang sangat jauh. Mungkin sepulang ini akan langsung kulaporkan kepada Papa agar bisa ditindak lanjuti.

"Demi apa, ada Gamang!"

Fokusku buyar saat mendengar seorang gadis histeris melihatku, dia baru keluar dari gedung bersama kawan-kawannya. Jantungku berdegup kencang, aku celingukan melihat ke sekitar. Sebetulnya aku tak pernah keluyuran sendiri seperti ini, selalu ada Mas Biru yang menemani.

Gadis itu semakin heboh memberitahu semua kawan-kawannya, maka keributan antar mereka semakin menjadi. Aku hanya takut kereka akan berebut meminta tanda tangan setelah ini, jika dikerubungi tanda tanganku akan jelek.

Aku hanya bisa tersenyum menyapa mereka, sembari mengangguk-angguk. Sayup-sayup kudengar percakapannya; bahwa mereka kelupaan tidak membawa salah satu tulisanku, mereka menyesali hal itu.

Mataku tetap memandang kepada kerumunan gadis beralmamater warna cokelat, masih terkagum-kagum karena kehadiranku di sini. Kalau begini nyatanya, lama kelamaan aku akan tersipu malu.

Palimpsest Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang