⋆⠀҂҂⠀๑⠀، ⚘୭
Aku dan keempat kawanku turun dari gubuk tersebut untuk menghadapi sekelompok pemuda ini. Mereka semua menodongkan sebuah bambu runcing, sementara kawanku juga sama halnya mengacungkan senjata. Aku memberi kode—dengan memberi kepalan ke atas—agar mereka berempat menurunkan senjatanya, perintah ini berhasil membuat sekelompok lawan kami ikut menyimpan bambu runcingnya.
"Gamang Bumantara."
Aku tidak menimpali panggilan salah satu dari mereka, tetap fokus berjaga jika ada gerik yang mengejutkan.
"Buku sialanmu membuat kami terjebak di pulau asing ini," lanjutnya semakin mencekam. Dia juga melempar buku yang dimaksudkan, sudah lapur tak berbentuk. Puluhan halaman kuyakini telah hilang dan robek.
"Kini giliran kamu bertanggung jawab atas tindakan yang kau perbuat!" Lelaki tersebut kembali mengangkat bambu runcingnya, diikuti oleh kurang lebih lima kawan lain di belakang.
Langkah demi langkah, dia mendekatiku hingga berlari secepat kilat. Kakiku tidak bisa diperintah untuk bergerak, hingga Redum berhasil menepis menggunakan pedangnya.
Pertempuran tidak bisa dihindarkan, belasan peluru telah diluncurkan oleh Abhati, Eminser dan Bagas. Mereka bertarung tanpa kenal nyawa yang harus selamat.
Setidaknya aku merasa membebani keempat kawanku karena tidak bisa memakai senjata. Redum juga terus berdiam di hadapanku untuk melindungi, tidak sekalipun ia membiarkan kulitku tergores oleh bambu runcing lawan.
Buru-buru aku mengeluarkan mahkota, aku memakainya tanpa sepengetahuan mereka semua. Kemudian, dengan penuh kebulatan aku mengacungkan senjata api ke atas langit, meluncurkan sebuah ledakan yang menimbulkan percikan api seperti hujan. Mereka terdiam di tempat, kulitnya tersentuh oleu butiran panas yang kuluncurkan.
Tanganku sakit, kulempar senjata mematikan ini ke sembarang arah, memang hanya bisa digunakan sekali. Walau tidak mengeluarkan darah, tetap terasa memar di sekitar jemariku.
"Kita bicarakan baik-baik. Kekerasan apalagi pertumpahan darah tidak akan membuat jalan keluar," ucapku mencoba penuh wibawa.
"Pangeran Andrew?" Lelaki yang banyak bicara tadi menebak penampilanku.
Aku mengangguk samar. Membuat sekelompok lawan kami semakin terpukau tidak percaya. "Jadi, selama ini Gamang Bumantara adalah Pangeran Andrew?"
"Terima kasih sebelumnya. Kudengar tujuan kalian membuktikan kebenaran novel Totoyam Sebuah Desa adalah ingin mencari kesembuhan untuk diriku."
"Benar, Pangeran! Kami ingin melihat sosok inspiratif seperti Anda kembali di depan seluruh rakyat Tora. Sedari engkau berusia lima tahun sudah terampil menginspirasi rakyat Tora, keajaiban yang luar biasa bagi anak seusia itu."
Lelaki itu mendekatiku sambil mengulurkan tangannya. "Namaku Ruga, dan ini adalah kawan-kawan satu jurusan denganku."
Aku tersenyum padanya. Ingin sekali aku membalas jabat tangannya, tetapi rasa sakit bekas menggunakan senjata tadi masih terlalu perih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palimpsest
Teen FictionPada sebuah senja yang hampir menampakkan lembayung, Gamang Bumantara terus merapalkan sebuah kalimat yang kemudian ia curahkan di atas kertas lusuh. Membiarkan alam bawah sadarnya menguak berbagai fakta terkait penyakit dan rahasia di negaranya. K...