⋆⠀҂҂⠀๑⠀، ⚘୭
Rumah Redum terasa semakin panas, mungkin dikarenakam volum ruangannya kecil dan matahari di luar semakin bergerak menuju tengah langit. Keringatku bertetes membasahi leher, mengalir melalui pelipis kepala.
Mataku membesar tatkala melihat luka sayat seperti tebasan pedang pada dada bidang Mas Biru, aku menghitung kurang lebih panjang 30 senti.
"Saya yakin, pedang pusaka tersebut masih tersimpan apik di rumah Anda."
Pa Kara juga tak kalah terkejutnya, tetapi dengan pandangan berbinar. Mulut Pa Kara juga mulai tersenyum semringah. "Laut, kamu sangat awet muda."
Mereka akhirnya berpelukan, meluapkan rasa rindu yang selama ini terpendam. Mas Biru katanya terlupa jika panggilan khusus yang diberikan Pa Kara kepadanya adalah Laut; perpaduan antara nama asli Mas Biru dengan pekerjaanya yang senantiasa berada di laut. Pa Kara juga baru mengingat saat melihat tebasan luka milik Mas Biru, hasil dari latihan tarung mereka, Pa Kara tak sengaja hampir membunuh Mas Biru. Begitu pun sebaliknya, Pa Kara hampir mati terkena tembakan dari Mas Biru, lukanya terdapat di bagian paha.
"Benar, pedang itu bahkan aku bawa ke kamar ini. Ada di belakang. Tolong ambilkan, Nak."
Redum menuruti perintah Pa Kara, membawa sebuah kotak yang cukup panjang dan besar. Elegan sekali, aku bahkam tidak pernah melihat ukiran pada papan kayu secantik ini.
"Oh, ternyata isi dalam kotak berat ini adalah pedang," ujar Redum sembari menyimpan kotak tersebut. "Pantas saja sedari dulu Papa selalu melarang aku untuk membukanya."
"Bukan melarang, Dum. Papa menunggu kamu cukup umur. Karena sekali saja kamu melihat kegagahan pedang pusaka ini, pasti kamu ingin menguasainya. Papa tidak mau kamu terluka."
Pa Kara lalu membuka kotak tersebut, dibantu oleh Mas Biru sebab tenaga Pa Kara tidak terlalu kuat. Benar ucapan Pa Kara barusan, mata Redum sontak berbinar indah, senyumnya juga mengembang lebar.
Perlahan Redum dibiarkan untuk menyentuh pedang yang pegangannya berwarna hijau rumput. Bagian yang paling tajam dan dihindarkan masih bersih, jauh dari karat.
"Papa menggunakan terakhir kali saat berlatih dan hampir membunuh Laut, Dum, Papa takut akan melukai seseorang lagi. Untuk itu, hingga sekarang Papa memilih untuk menyimpan saja selagi menunggu kamu siap menguasainya."
Redum tampaknya masih terkagum dengan pedang pusaka itu, aku pun ikut tertarik. Namun, tak lama ingatanku tertarik kepada pajangan dinding yang ada di istana. Sebuah pigura berisi foto Papa, seingatku Raja Andreas pernah memegangnya.
Mas Biru tertawa bangga saat Redum mengangkat pedang pusaka dari kotaknya. "Sepertinya kau menurunkan keberanian yang besar kepada anakmu, Adikara."
"Maaf, bolehkah aku bertanya. Dari mana Papa mendapatkan pedang ini?" Mulut ini tidak bisa dikendalikan, rasa penasaran rupanya membeludak dari pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palimpsest
Roman pour AdolescentsPada sebuah senja yang hampir menampakkan lembayung, Gamang Bumantara terus merapalkan sebuah kalimat yang kemudian ia curahkan di atas kertas lusuh. Membiarkan alam bawah sadarnya menguak berbagai fakta terkait penyakit dan rahasia di negaranya. K...