⋆⠀҂҂⠀๑⠀، 🌷୭
"Mas Biru, bikin kaget saja,"
"Anda yang membuatku terkejut. Aku memutar kemudi kapal karena melihat tembakan api yang Anda luncurkan. Apa yang terjadi?"
Mas Biru terlihat sekali cemasnya. Wajah dia memerah dan matanya memberi pertanda marah. Mas Biru kemudian menggantungkan senapan di belakang tubuhnya supaya aman.
Aku menceritakan semua hal yang terjadi pada Mas Biru, mulai dari pertemuan kami dengan kelompok Ruga, kemudian tentang tulisan di gubuk; Raja X adalah kunci, sampai menunjukkan lembah tempat para korban tumbal disatukan.
Mas Biru memiliki insting yang tidak semua orang memiliki, ia bisa mendengar teriakan para korban, terlebih si perempuan yang menjadi kekasih Ruga. Dikatakan masih hidup juga tidak, tetapi mereka semua melolong meminta pertolongan. Mas Biru berkata, bahwasanya desa asing ini harus segera diberi petunjuk. Kalau tidak, maka akan ada banyak lagi korban berikutnya.
"Kalau begitu, kita temui Raja sekarang." Mas Biru membuat keputusan.
Aku mengangguk antusias. Selain akhirnya masalah ini memiliki sebuah titik terang, teman-temannya Ruga juga tersenyum semringah.
"Ayo, kalian ikutlah."
"Namun, bagaimana dengan tumbal terakhir?" tanya Ruga begitu khawatir.
"Tidak apa, jangan dipikirkan. Kita coba dulu." Aku dengan yakin menggenggam tangan Ruga.
Kami semua bergegas menuju tepi patai. Di sana telah berdiam kapal milik Mas Biru yang sebelumnya juga kami gunakan.
Satu per satu dari kami semua mulai naik, hingga mesin kapal dinyalakan dan Mas Biru mencoba menjalankannya. Ruga berulang kali merasa tidak yakin, katanya kapal ini pasti akan diterjang ombak dan kita semua hanyut terbawanya.
Mataku membesar tatkala melihat ombak besar itu muncul, ucapan Ruga menjadi kenyataan. Ombak semakin membesar, melebihi tinggi kapal yang ditumpangi kami. Seisi penumpang histeris, termasuk Redum, dia masuk ke dalam pelukanku.
Jantungku berdegup kencang, semakin tak karuan saat semua orang di kapal berteriak, terkecuali Mas Biru. Dia berusaha untuk memutar kemudi supaya terhindar dari terjangan ombak.
"Kita akan mati!" teriak Ruga.
"Tidak, kita akan selamat dari sini." Aku mengelak tegas. Aku tidak mau mereka semua menyerah begitu saja hanya karena masalah besar yang mungkin bisa diselesaikan.
Ombak itu makin dekat, bersamaan dengan angin yang semakin kencang berhembusnya. Aku lantas memberi peringatan kepada mereka, percayakan pada Mas Biru perihal labuhan ini, dan berdoalah kepada Tuhan agar kita bisa selamat.
Gelombang tersebut mulai menyusut, tetapi laut mengembalikan kami semua ke tepi pantai tadi.
"Rasanya, alam tidak setuju jika kami pergi tanpa meninggalkan tumbal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Palimpsest
Teen FictionPada sebuah senja yang hampir menampakkan lembayung, Gamang Bumantara terus merapalkan sebuah kalimat yang kemudian ia curahkan di atas kertas lusuh. Membiarkan alam bawah sadarnya menguak berbagai fakta terkait penyakit dan rahasia di negaranya. K...