17. Jelajah Pertama

4 1 0
                                    

⋆⠀҂҂⠀๑⠀، ⚘୭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆⠀҂҂⠀๑⠀، ⚘୭

Provinsi Itya memiliki kekayaan laut yang sangat luar biasa. Menurut informasi yang aku dapatkan, penduduknya rata-rata bermata pencaharian sebagai nelayan. Tak jarang kota Melawa sering mendapat banyak sekali pasokan ikan, sebab para nelayan di provinsi ini antusias dalam bekerjanya.

Sebetulnya, provinsi Itya itu masih satu pulau dengan provinsi negara Tora lainnya. Berdasarkan navigasi yang dilacak oleh Mas Biru, para mahasiswa meninggalkan jejak menuju pulau ini. Diketahui, pulau tersebut masih diberi nama Provinsi Itya, hanya saja perbedaan tempat yang lumayan jauh.

Sepanjang perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua hari, aku dan kawan-kawan menemukan banyak sekali makhluk air yang selama ini hanya aku lihat di internet saja.

Akhirnya kita sampai di sebuah pulau terpencil provinsi Itya. Aku tidak pernah menyangka ada pulau sejauh ini dari tanah Tora. Kurasa pulau ini tidak terlalu dipandang, atau sudah dibuang? Sayang sekali jika benar adanya.

"Hati-hati turunnya," peringatku saat Redum menuruni kapal.

"Terima kasih, Pangeran."

Aku tertawa saat Redum memanggilku demikian. Padahal aku sudah berkali-kali memberitahunya agar memanggilku dengan panggilan Gamang saja ketimbang berlebihan memanggil kedudukanku.

"Aku akan menunggu di sini. Nanti jika ada sesuatu yang terjadi, tolong nyalakan flare-nya agar aku bisa—"

"Pulanglah, Mas." Aku memotong perkataan Mas Biru yang dirasa belum selesai. "Kurasa Tora, terutama Kapten Adikara lebih membutuhkan perlindungan ketimbang kami."

Mas Biru terdiam cukup lama. Ia memadang ke sekitaran pesisir pantai pulau ini, menyiasati kondisi.

"Kami akan segera pulang. Mungkin akan ada kapal yang melewat nantinya. Lagipula, Bagas mengatakan dia sudah hatam dengan navigasi kelautan."

"Baiklah, sesuai perintah aku akan kembali ke Melawa. Namun, jika ada sesuatu mohon beri tanda ke istana. Luncurkan petasan ke langit atau apa pun, aku akan mengerahkan divisi astrologi untuk mengamati langit selatan."

Setelah itu Mas Biru menyalakan mesin kapal yang berukuran tidak terlalu kecil. Nahkoda itu berlabuh lagi menyusuri laut Itya untuk kembali pulang.

"Dadah Mas Laut. Jagain Papa, ya!" Redum berteriak sembari melambaikan tangannya. Sepertinya mereka berdua ini sudah semakin dekat. Redum menyatukan panggilan milikku dengan ayahnya supaya adil.

"Stt, Redum, jangan berteriak!" Abhati tiba-tiba memarahi.

Aku dan Redum menoleh ke belakang. Mereka bertiga siap siaga berhadapan dengan hutan belantara.

"Kedatangan kami sepertinya disambut oleh warga lokal," ujar Eminser menambahkan.

Pandanganku beredar mengamati semak-semak belukar, juga pepohonan yang menjulang tinggi. Tanaman itu bergerak rusuh, seperti memberi pertanda ada orang asing yang datang.

Palimpsest Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang