For A - akhir

864 28 6
                                        

Matahari telah menempati titik tinggi. Dua makhluk satu gender itu masih terlelap dalam tidurnya.

Dan seorang Ayah tua tersenyum mendapati keduanya saling memeluk satu sama lain. Beliau beranjak dari posisinya, meninggalkan dua makhluk yang masih terlelap itu.

Daffa membuka matanya perlahan, telinganya sempat mendengar suara pintu tertutup. Dihadapannya ada si manis yang masih menutup matanya. Daffa mengecup sebentar bibir yang masih membengkak akibat semalam. Perlahan, ia menarik miliknya keluar. Kemudian, beranjak ke kamar mandi.

Yesha juga sama, ia sudah sadar dari tidurnya ketika Daffa mengecup bibirnya. Namun, dengan sengaja ia tak membuka matanya.

Sayangnya, setelah mendengar suara pintu tertutup, air matanya mengalir begitu saja. Yesha menangis tanpa suara.

Dia tak tahu apa yang terjadi tadi malam. Intinya seluruh tubuhnya terasa nyeri. Apalagi bagian bawahnya yang masih tertutup rok dan tanpa celana dalam.

Beberapa menit kemudian, Daffa keluar dari kamar mandi. Ia mengira jika Yesha masih tertidur, nyatanya salah.

"Hey, manis. Lihat aku," Daffa berucap selembut mungkin. Tangannya mengelus lembut rambut Yesha. "Dengerin aku ngomong sebentar, mau?"

Yesha menegakkan tubuhnya. Posisinya sekarang adalah duduk. Dengan rambut dan pakaian yang berantakan. Daffa dengan telaten merapikan.

"Shh- hiks-"

"Eh, kenapa?"

"I-itu sakit, hiks-" Yesha membalas bersama isakan. Nipplenya masih terasa nyeri saat kain seragam menyentuhnya.

"O-oke, maaf. Sekarang dengerin aku, ya?"

Yesha mengangguk.

"Maaf soal semua ini. Aku akan bertanggungjawab untuk semuanya. Biarkan aku melakukan apapun untuk mempertanggungjawabkan ini. Bahkan, menikahi kamu."

"Em?" Yesha menelengkan kepalanya. Ia tak paham maksud lawan bicaranya. Kenapa harus menikah?

"Maaf kalau kamu ngga bisa mencintai aku. Tapi, aku mohon buat kamu nerima pertanggungjawabanku."

Apa sih? Ngomong apa? Yesha ngga paham.

"Maaf karena bikin kamu nangis dan melepas mahkota kamu."

"Mahkota?" Yesha membeo, ia masih tak paham. Sungguh.

Daffa mengangguk, "iya, tadi malam itu-"

"Badanku sakit semua gara-gara tadi malam tahu! Nyeri semuaaaa. Hueeeee," tangisannya semakin kencang, dan Daffa kelabakan.

Pintu diketuk, kemudian terbuka dan memperlihatkan sesosok pria yang diakui Daffa sebagai Ayah dan di akui Yesha sebagai dosennya.

"Pak Danang?"

"Ayah, ngapain?"

Bukannya membalas ucapan dua pemuda itu, pria tua itu justru menatap datar keduanya. "Saya tunggu kalian diruang tamu."

---

Sementara Yesha membersihkan tubuhnya didalam kamar mandi, Daffa turun menuju ruang tamu untuk menemui Ayahnya.

"Kenapa? Dia mangsa Ayah?" Daffa bertanya dengan sedikit nada kesal. Ayahnya selalu mengirim gadis-gadis berpakaian ketat kerumahnya.

Sang Ayah berdecak, "duduk dulu dong. Marah-marah mulu."

"Ayah!" Daffa meneriaki sang Ayah karena merasa dipermainkan.

"Iya-iya, duduk dulu makanya."

Daffa menurut. Ia duduk disofa, namun matanya menatap penuh selidik sang Ayah.

a dodam fanfictTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang