Saat Nakula mendadak terdiam setelah celingukan seperti sedang mencari sesuatu—atau seseorang—aku ikut memandang ke arah yang membuatnya terpaku, lalu mendapati seorang gadis ke luar dari rumah di seberang jalan. Seketika, satu kata melintas dalam benakku. Manis.
Gadis itu berpipi tembam, sesuatu yang tidak dimiliki Rosa. Meski kalah tinggi, tetapi dia tidak kalah cantik dibanding gadis ini. Satu lagi keunggulannya, suaranya merdu, bahkan saat sedang mengobrol seperti sekarang.
Jujur, aku merasa minder berada di dekatnya, meskipun sekarang aku beridentitas sebagai model.
Dia mengulurkan tangan kanannya pada Nakula, lalu berujar tanpa menunggu tangannya disambut oleh cowok di sampingku ini, “Namaku Cahaya Rembulan, sahabatnya Kak Nakula dari sebelum sekolah sampai SD kelas I.”
“Ha?” Nakula melongo—reaksi yang wajar, mengingat pemilik nama itu seharusnya gadis yang gemuk.
Dari mana aku tahu? Dulu, Nakula pernah memperlihatkan fotonya padaku.
“Lo Aya … sahabat gue yang gendut dan hobi makan?”
Gadis yang Nakula panggil Aya ini merengut. Dia lekas menurunkan tangannya. “Masa yang diinget sisi jelekku doang sih, Kak?”
“Nggak juga. Gue masih inget segala tentang lo. Termasuk soal janji lo yang bakal ngabarin gue setibanya di Medan.”
“Eh.” Raut wajah Aya berubah. Terlihat seperti merasa bersalah. “Soal itu … maaf, Kak. Bukannya aku lupa, cuma aku mengalami kecelakaan di rumah baruku. Aku jatuh dari tangga dan gegar otak ringan. Ada beberapa ingatanku yang hilang, salah satunya soal janjiku itu. Pas udah inget, Mama udah ganti HP karena HP-nya yang lama rusak dan semua kontaknya hilang, sementara di HP Papa nggak ada kontak ortu atau rumahnya Kakak.”
“Masa?” tanya Nakula sangsi.
“Beneran, Kak. Kalo nggak percaya, tanya aja sama Mama.”
“Terus, kenapa lo nggak ngirimin gue surat? Kalo pun lo amnesia, ortu lo nggak mungkin ikut ngelupain alamat rumah gue, kan?”
“Soalnya, aku takut Kakak nggak bales suratku.”
Tatapan Nakula menajam sebelum menjawab dengan suara sedikit meninggi, “Dari mana lo tahu gue bakal bales atau nggak, kalo lo aja nggak pernah ngirimin satu surat pun?”
Dia mungkin kecewa karena merasa dibuang oleh sahabatnya.
Aya menunduk. “Maaf,” ujarnya lirih. Suaranya sedikit bergetar.
Sepertinya, Nakula menyadari hal itu, karena tatapannya melembut dan meminta maaf dengan tulus. Pandangannya lalu beralih padaku yang sedari tadi menyimak. “Ros, kenalin, ini sahabat gue.” Kemudian, kembali beralih pada gadis di depannya. “Aya, ini Rosa, temen gue.”
Aku mengulurkan tangan kananku pada Aya. “Rosa Nirduri. Senang bisa mengenalmu, Aya.”
Aya membalas jabat tanganku. “Aku juga senang bisa mengenalmu, Ros”
“Dia seumuran gue, Ay,” timpal Nakula.
Aya langsung meminta maaf begitu tahu aku lebih tua darinya. Padahal, aku sama sekali tidak tersinggung dengan masalah sepele ini, apalagi dia bersikap sopan padaku.
Hanya sebentar kami bertatapan, karena perhatian Aya beralih lagi pada Nakula. “Kak, apa kita bisa lanjut ngobrol di tempat lain? Di sini panas soalnya.”
“Nanti aja ngobrolnya. Sehabis gue pulang dari Mal Mentari.”
“Kakak mau ke Mal Mentari?” Pandangan Aya menjadi berbinar-binar. “Aku ikut ya, Kak. Aku udah lama nggak ke sana. Kangen sama arkadenya.”
Nakula melirikku, sepertinya sedang meminta persetujuanku.
Seraya tersenyum, aku berkata dengan niat tersirat, “Makin rame artinya makin seru.”
🍏 🍎 🍏
Kali ini, aku memutuskan menemani Aya di kursi belakang. Aku ingin mengenalnya untuk mengetahui perasaannya pada Nakula. Itulah alasanku mengizinkannya ikut bersama kami ke Mal Mentari.
“Wah, berarti kamu bakal jadi adkel kami dong,” ucapku begitu Aya memberitahuku akan lanjut bersekolah di SMANSABAN.
“Kak Rosa sekolah di sana juga?”
Aku mengangguk. “Aku sekelas sama Nakula, bahkan jadi temen sebangkunya.”
“Serius?”
Aku kembali mengangguk.
“Pantes kalian kelihatan akrab,” timpal Aya, mengulas senyum.
“Kami cuma temen kok,” kataku, meyakinkan.
“Ay, lo kok bisa jadi kayak sekarang sih?” Tanpa diajak, Nakula ikut nimbrung dalam obrolan.
Jujur, aku juga penasaran dengan hal itu.
Aya memandang Nakula yang duduk di depannya. “Aku diet dan rutin olahraga, Kak. Dan sampai sekarang, aku masih melakukannya karena nggak mau gendut lagi.”
Nakula hanya ber-oh singkat dengan mata tetap memandang jalanan.
Aya menoleh lagi padaku. “Kak Nakula populer nggak sih di sekolahnya?”
Akhirnya, tiba kesempatan untuk membahas rumor buruk Nakula. Tentu saja, aku sudah mendapatkan izinnya tadi. Aku berharap, Aya tidak memercayai rumor itu dan tetap mau dekat dengan Nakula.
“Gue populer sebagai cowok yang otaknya berisi selangkangan cewek doang.” Terdengar suara dari kursi supir, mendahuluiku berbicara.
Aya kembali memandang Nakula. “Maksudnya, Kak?” tanyanya bingung.
“Nakula punya rumor buruk. Kalo bukan karena rumor itu, dia pasti punya banyak penggemar sekarang,” kataku, mengalihkan perhatian Aya.
“Rumor buruk?”
Aku mengangguk, lalu memberitahu Aya soal rumor itu, kebenaran di baliknya, serta dampaknya untuk Nakula.
“Termasuk keluarganya sendiri?”
Aku mengangguk.
Aya lalu menatap Nakula prihatin. “Maaf, Kak, aku nggak bisa nemenin Kakak di masa-masa itu.”
Dari spion, aku mendapati Nakula mengulas senyum, tetapi dia tidak mengatakan apa pun.
Dari responsnya, sepertinya Aya tidak memercayai rumor itu. Namun, aku masih harus memastikannya. “Kamu nggak percaya sama rumor itu, kan?”
Aya tersenyum, sebelum berujar panjang lebar, “Aku sangsi Kak Nakula cowok kayak gitu, mengingat betapa baiknya dia. Asal Kak Rosa tahu, dulu Kak Nakula itu satu-satunya temen yang kupunya. Meski punya banyak temen, tapi dia tetep mau temenan sama aku, anak paling gemuk saat itu.
“Dan dari sikapnya, aku percaya Kak Nakula tulus temenan sama aku. Lagian, kalopun bener, Kak Nakula pasti nggak bakal bertindak bodoh dengan melancarkan aksinya di perpus yang lagi rame.”
“Itu artinya, kamu tetep mau sahabatan sama Nakula?”
“Tentu aja. Justru aku bodoh kalo nggak mau sahabatan sama orang sebaik Kak Nakula.”
Aku senang mendengarnya. Akan tetapi, masih ada satu masalah yang bisa mengganggu kedekatan Aya dengan Nakula.
“Tapi, Ay, kalo ortu lo tahu, mereka mungkin bakal ngelarang lo temenan sama gue,” sahut Nakula. Matanya tetap awas pada jalan raya.
“Soal itu,” ujarku, mendahului Aya. “Kamu jangan khawatir. Aku bakal bantuin kamu ngeyakinin kedua orang tuamu. Aku jamin, mereka nggak bakal percaya sama rumor buruk itu.”
![](https://img.wattpad.com/cover/347914523-288-k943225.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Game: Demi Kebahagiaanmu
Teen FictionBlurb: Berkat kejadian di masa lalu, Nakula hidup dalam dunia yang kelabu. Cowok itu menjadi pribadi yang dingin dan skeptis pada orang lain. Rosa, si murid baru yang menjadi teman sebangkunya, pun tidak luput dari sikap buruk cowok itu. Namun, a...