Sabtu pagi, Sadewa berlatih bermain basket bersama timnya di lapangan basket sekolah. Seperti biasa, usai latihan, Sadewa mandi di kamar mandi sekolah lalu nongkrong di warung bakso yang tak jauh dari SMANSABAN, bersama beberapa rekan tim basketnya.
“Sa.”
“Apaan?” Sadewa bertanya, mengerling sekilas pada Budi Pekerti yang duduk di depannya.
“Abang lo, dia jalan sama cewek. Imut banget, anjir,” jawab cowok berambut kribo itu dengan pandangan tetap pada layar ponselnya.
“Sama Rosa maksud lo?” timpal Putra Cahaya yang duduk di samping Sadewa.
“Bukan. Nih, lihat sendiri.” Si empunya ponsel menyodorkan telepon genggam itu ke wajah Putra, memperlihatkan foto sepasang remaja yang tengah bermain di arkade.
“Anjir, siapa nih cewek?” Putra membelalak. Benaknya membenarkan perkataan Budi. Temannya yang lain yang ikut melihat foto itu juga memuji tentang betapa imutnya gadis itu. Termasuk Sadewa.
Putra menoleh pada Sadewa yang masih mengamati foto itu. “Lo kenal sama tuh cewek, Sa?”
Sadewa menggeleng, agak tidak yakin karena dia merasa familier dengan wajah gadis itu. Tapi, kapan dan di mana gue pernah lihat dia? Sadewa tidak mendapat jawaban atas pertanyaan dalam benaknya.
🍎🍏🍎
Bukannya rumah itu kosong ya? Sadewa menepikan motornya. Pandangan cowok itu beralih pada seorang wanita bergaun merah panjang yang berdiri di depan gerbang rumahnya sambil membawa sebuah bingkisan. Sadewa merasa tak asing. Dia melepas helm lalu menyipitkan mata untuk mempertajam penglihatan.
Tante Luna? Sebuah nama melintas dalam benak begitu melihat wajah si wanita. Masih tak yakin, Sadewa kembali memacu motornya. Dia kembali menepikan motornya di depan gerbang, tepat saat Bi Ayu membukakan gerbang tersebut. Kedatangan Sadewa menarik perhatian kedua wanita itu.
“Kebetulan Den Sadewa udah pulang. Nih, Den, ada Nyonya Luna. Aden masih inget, kan? Itu lho—”
“Istrinya Om Val, sekaligus ibunya Aya,” tukas Sadewa. Cowok itu mengulas senyum sebelum berucap, “Tebakan saya bener, kan, Tante?”
Tante Luna balas tersenyum. “100 buat kamu, tapi ngomongnya jangan formal gitu dong. Kayak Nakula aja kamu. Eh, kalian emang saudara kembar sih.”
Seketika, senyum Sadewa lenyap, digantikan raut wajah masam. “Tante, tolong jangan samain aku sama cowok bejat itu.”
“Cowok bejat? Maksud kamu, Nakula?” Tante Luna bertanya heran.
“Iya. Dulu, pas masih SD, tepatnya—”
“Itu fitnah!” Seruan Bi Ayu memotong ucapan Sadewa. Dia memang tidak memercayai rumor buruk Nakula.
Namun, dengan santai, Sadewa berujar, “Apanya yang fitnah, Bi? Wong aku lihat sendiri kejadiannya.”
“Itu nggak bener, Den. Aden Nakula anaknya ba—”
“Dia itu munafik, Bi! Ayolah, mau sampai kapan Bibi ketipu sama kebaikan palsunya itu?”
“Sebentar!” Tante Luna menengahi, penasaran dengan rumor buruk Nakula. “Sebenarnya apa yang udah Nakula lakuin sampai bikin kamu ngecap buruk kakakmu sendiri?”
“Kita bahas di dalam aja, Tan.” Pandangan Sadewa beralih pada sebuah mobil yang diparkir di depan garasi. Mobil milik ayahnya. “Kita bahas bareng Mama sama Papa. Mereka ada di rumah, kan, Bi?”
“Iya. Tapi, Den, sebaiknya kita nggak perlu bahas masalah itu. Kasian Den Nakula kalo sampai dijauhi sahabatnya sendiri.”
“Lebih kasian Aya kalo sampai jadi korban kebejatan Nakula. Udah, mending Bibi diem aja. Oh iya, tolong jangan ganggu obrolan kami nanti.” Sadewa lalu mengajak Tante Luna untuk menemui kedua orang tuanya.
Huft
“Semoga Nyonya Luna nggak percaya sama rumor buruk itu. Begitu pula dengan suaminya,” ujar Bi Ayu penuh harap.
🍏🍎🍏
“Apa cerita itu bener adanya? Seingatku, Nakula dulu anaknya baik, sopan pula. Nggak mungkin Nakula ngelakuin hal itu.” Tante Luna enggan percaya.
“Kami juga kaget pas tahu Nakula berbuat begitu. Dan sama kayak kamu, sulit buat memercayainya, tapi faktanya Nakula emang berniat memperkosa temennya sendiri,” ujar Tante Srikandi.
“Entah apa yang bikin anak itu berbuat begitu.” Om Surya menimpali perkataan istrinya.
Obrolan mereka terhenti oleh kehadiran Bi Ayu yang membawa sebuah nampan berisi empat cangkir teh. Dia lalu kembali ke dapur sambil berharap agar orang tua Rembulan tidak memercayai rumor buruk Nakula. Sayangnya, Tuhan berkata lain.
“Kalo kayak gini, aku terpaksa ngelarang Aya deket-deket sama Nakula.”
Perhatian Tante Luna lalu beralih pada ponselnya. Baru saja dia ingin menekan ikon aplikasi WA, jarinya tertahan oleh ucapan cowok yang duduk di sampingnya.
“Cewek yang jadi wallpaper itu … siapa, Tan?”
“Oh, itu Aya,” jawab Tante Luna, melanjutkan niatnya untuk menelepon sang anak.
“Eh, cewek cantik itu Aya?!” Sadewa terkesiap. Ternyata cewek dalam foto tadi adalah Aya. Pantas saja dia merasa familier dengan wajahnya. Apa ini yang dinamain metamorfosis ulat jadi kupu-kupu?
Tante Luna menoleh. Sejenak, dia heran dengan respon Sadewa sebelum akhirnya menyadari alasan keterkejutan cowok di sampingnya ini. “Maklum sih kamu nggak ngenalin Aya. Soalnya penampilannya udah banyak berubah.”
Tante Luna siap untuk menelepon anaknya ketika sebuah ide melintas dalam benak. Dia kembali memandang Sadewa. “Boleh Tante minta tolong?”
“Minta tolong apa, Tante?”
“Bisa tolong kamu jemput Aya? Tante khawatir dia kenapa-napa, soalnya anak itu lagi sama Nakula.”
Senyum Sadewa langsung mengembang. “Siap 86!” serunya bersemangat. Baginya, ini akan menjadi langkah pertamanya untuk menggait hati gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Game: Demi Kebahagiaanmu
Ficção AdolescenteBlurb: Berkat kejadian di masa lalu, Nakula hidup dalam dunia yang kelabu. Cowok itu menjadi pribadi yang dingin dan skeptis pada orang lain. Rosa, si murid baru yang menjadi teman sebangkunya, pun tidak luput dari sikap buruk cowok itu. Namun, a...