11. Nakula Bercerita: Kemungkinan Tak Terduga, Bagian Kedua

1 2 0
                                    

“Awalnya kami nggak mau ikut campur. Tapi begitu tahu rumor burukmu, kami sepakat buat diem-diem campur tangan dalam percintaan Rosa.

“Sebagai orang tuanya, kami nggak mau Rosa salah memilih pasangan. Terakhir kali dia menyukai orang yang salah, dan kami nggak mau hal itu terulang lagi,” tutur Tante Kirana.

Om Bima kembali menyesap tehnya, kemudian menimpali, “Demi kebaikan Rosa, kamu harus mau diintrogasi. Tapi kamu boleh menolaknya, asal jangan deketin anak kami lagi.”

“Bentar, Om, Tante.” Aku kembali bersuara, setelah melongo selama beberapa saat. “Maaf sebelumnya, tapi saya nggak menyukai Rosa. Dia juga nggak mungkin suka sama saya. Selain kami baru kenal kemarin, saya juga udah membuat kesan yang buruk di pertemuan pertama kami.”

“Justru karena itu, kami yakin Rosa menyukaimu.”

Ucapan Tante Kirana membuatku bingung.

“Coba kamu pikir, alih-alih jauhin kamu, Rosa justru melakukan hal sebaliknya. Dia berusaha deketin kamu. Nggak cuma itu, Rosa juga begitu peduli padamu. Dan perlu kamu ketahui, selain memberimu pekerjaan guna membantumu mengumpulkan uang, dia juga berniat bersihin namamu yang tercemar.”

Aku tertegun mendengarnya. “Rosa … berniat melakukan hal itu, Tante?” tanyaku tak percaya.

“Ya.” Om Bima yang menjawab. “Nur yang memberi tahu kami semuanya, termasuk penghinaanmu pada Rosa.”

Aku cepat mengalihkan pandangan pada cangkir teh saat ayahnya Rosa memelototiku. Beliau pasti tidak terima anaknya sudah kuhina sebagai cewek pembawa sial.

“Ngomong-ngomong, kamu nggak keberatan kami introgasi, kan?”

Aku kembali memandang Tante Kirana, lalu menggeleng sebelum memasukkan tangan kananku pada selop alat pendeteksi kebohongan. “Saya siap diintrogasi sekarang.”

🍏 🍎 🍏

Sesuai permintaan kedua orang tua Rosa, aku menceritakan saat di mana Kejora menjebakku, tanpa menambahi atau mengurangi kejadian yang sebenarnya. Hasilnya, lampu indikator pada alat pendeteksi kebohongan berwarna hijau, menandakan bahwa aku kembali berkata jujur.

“Bagus, rumor burukmu itu nggak bener. Dengan begini, kami nggak perlu khawatir kalo kamu jadi pacarnya Rosa. Tapi kamu jangan seneng dulu, soalnya kami belum merestui kamu,” ucap Tante Kirana.

Aku cuma tersenyum mendengarnya.

“Ngomong-ngomong, apa introgasinya udah selesai?” tanyaku, memastikan. Pasalnya, mereka sudah memastikan kebenaran di balik rumor burukku, jadi seharusnya introgasi ini sudah selesai.

“Satu pertanyaan terakhir, buat mastiin, kamu bener-bener layak untuk anak kami,” jawab Om Bima.

Aku menghela napas pelan. Padahal gue cuma pengen jadi guru privatnya Rosa, bukan jadi mantu kalian.

“Om sama Tante mau nanya apalagi?” tanyaku, seraya tersenyum.

“Apa alasanmu menghina anak kami?”

“Eh?” Aku tidak menduga Om Bima akan menanyakan hal itu. Aku pun cepat menjawab, “Maaf, Om, Tante. Kemarin saya lagi dalam suasana hati yang buruk, jadi nggak bisa ngontrol emosi dan asal nyeplos aja.”

Sesaat kemudian, aku menarik tangan kananku saat merasakan sengatan listrik kecil. Tidak sampai membuat terluka, tetapi cukup mengejutkanku. Selain itu, kali ini lampu indikator berwarna merah, yang berarti aku berkata bohong.

“Jawab jujur, Nakula. Apa alasanmu ngehina Rosa sebagai cewek pembawa sial?” Kini, Tante Kirana yang bertanya. Dari nada bicaranya, aku tahu beliau juga tersinggung oleh perbuatanku.

“Apa bener, kamu sengaja melakukannya agar Rosa menjauhimu?” tanyanya lagi.

Belum sempat menjawab, Om Bima mendahuluiku berbicara, "Nur udah ngasih tahu kami hal itu, tapi kami pengen denger sendiri dari mulutmu. Sebelum menjawab, bisa kamu masukkin lagi tanganmu ke selop alat pendeteksi kebohongan itu?”

Lagi, aku menghela napas pelan. Kuputuskan untuk menuruti permintaan mereka. “Ya, saya sengaja melakukannya agar Rosa menjauh seperti yang lain.”

Lampu indikator berwarna hijau, karena memang itu alasanku menghina Rosa.

Aku lalu menarik kembali tangan kananku. “Mengenai alasannya, saya sepertinya nggak perlu bilang, karena Om sama Tante pasti udah tahu dari Bu Nur.”

“Lalu, apa sekarang kamu masih nganggep anak kami seperti mantan pacarmu?”

Aku terdiam sejenak, sebelum mengangguk pelan.

“Jadi kamu masih nganggep Rosa seburuk mantan pacarmu, setelah perlakuannya ke kamu?” Om Bima memandangku tajam. Nada bicaranya juga sedikit meninggi.

“Maaf,” ujarku lirih, tetapi kuyakin masih bisa terdengar oleh kedua orang tua Rosa.

Terdengar embusan napas, disusul suara Om Bima. “Kayaknya penilaianmu baru akan berubah kalo Rosa berkorban nyawa buat kamu. Tapi lebih baik kamu mencurigainya seumur hidup, daripada hal itu terjadi.”

Aku hanya membalas dalam hati, Mungkin. Tapi emangnya, Rosa mau ngorbanin nyawanya buat gue? Aku yakin, gadis itu tidak akan pernah melakukan hal itu.

🍎🍏🍎

Thanks buat tumpangannya, dan karena udah ngajak gue jalan hari ini,” ujarku pada Rosa yang duduk di kursi pengemudi.

Aku hendak turun dari mobil, saat terdengar suara Rosa. “Apa bener ortuku cuma bahas soal rumor burukmu?” Dia kembali menanyakan pertanyaan itu.

Aku menoleh padanya, memberikan senyuman kecil sebelum menjawab, “Cantik tanya aja sama mereka, jawabannya pasti sama.” Aku lalu keluar dan berjalan menuju rumahku, saat mobilnya Rosa melaju kembali ke rumahnya.

Selama berjalan, perutku masih sedikit nyeri. Tadi, setelah introgasi selesai, Om Bima memberiku bogeman mentah telak menghantam perut. Beliau berinisiatif melakukannya sebagai hukuman karena aku sudah menghina Rosa.

Aku sama sekali tidak tersinggung. Justru sebaliknya, aku membenarkan tindakan Om Bima—dan sesuai permintaannya serta Tante Kirana, aku tidak memberitahu gadis itu apa yang sebenarnya terjadi.

Di ruang tamu, aku berpapasan dengan Sadewa. Dari penampilannya, sepertinya dia mau pergi ke luar. Mungkin main bersama teman-teman dekatnya.

Aku memutuskan tidak menyapa Sadewa, dan langsung menuju kamarku. Saat aku akan melewatinya ….

“Jangan bikin malu Mama sama Papa lagi.”

Langkahku terhenti mendengar kalimat itu dari mulut Sadewa. Aku paham maksudnya, karena dia pernah mengatakan kalimat yang sama saat aku dekat dengan Mutiara.

Aku mengerling padanya yang berdiri di sampingku. “Tenang aja, gue nggak bakal bikin mereka malu dengan bertindak bodoh.” Kemudian, aku melanjutkan langkah tanpa berniat mendengar jawaban Sadewa.

Fate Game: Demi KebahagiaanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang