Aku memang sudah bertekad untuk memberikan kebahagiaan cinta pada Nakula, tetapi kuingin dia yang mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Alhasil, aku memilih menunggu sambil terus memperpendek jarak di antara kami. Akan tetapi, hingga sekarang cowok itu masih belum menembakku, padahal kuyakin dia juga memiliki rasa yang sama sepertiku.
Lantaran waktu kian menipis, aku tak punya pilihan selain mengambil inisiatif. Aku ingin secepatnya menyelesaikan tugasku agar bisa menikmati waktu yang tersisa sebagai kekasih Nakula.
Keesokan harinya, aku menjalankan rencana yang sudah kubuat. Sayangnya, Nakula tidak langsung percaya. Untuk meyakinkannya, aku terpaksa melepas ciuman pertama gadis ini. Yah, meskipun “orang lain” yang melakukannya, aku tetap merasa malu sekaligus senang. Jika sebagai diri sendiri, mustahil aku bisa jadian dengan Nakula, apalagi sampai menciumnya.
Sejak saat itu, hari-hariku bertambah menyenangkan. Sungguh, aku menikmati waktu bersama Nakula. Saking menikmatinya, aku sampai tidak menyadari bahwa waktuku sudah habis.
Tadi pagi, aku jatuh dari tangga dan kehilangan kesadaran. Saat tersadar, aku sudah berada di padang rumput nan luas ini. Tak ada apa pun di sini, selain dua pintu kayu yang masing-masing bertuliskan dunia fana dan akhirat. Dan kini, pakaianku berubah menjadi midi dress seputih salju, pakaian yang kukenakan saat pertama kali tiba di tempat ini.
“Selamat. Kamu sudah menyelesaikan tugasmu dengan baik.”
Aku berbalik, mendapati seorang pria jangkung berjubah putih dengan wajah berpendar cahaya—tetapi tidak menyilaukan—sudah berdiri di belakangku. Dialah Mursal, Sang Malaikat Penyampai Pesan.
Tapi, apa dia emang malaikat yang waktu itu?
“Ini memang aku, Kejora,” ujarnya, membaca pikiranku tanpa izin seperti saat pertama kali kami bertemu.
Ia bergegas menambahkan, “Maafkan aku yang sudah tidak sopan. Ngomong-ngomong, sekali lagi selamat atas keberhasilanmu menyelesaikan tugas. Dengan begini, kamu bisa kembali ke tubuhmu dan menjalani hidupmu seperti sedia kala.”
Daripada itu, ada hal lain yang ingin aku ketahui. “Setelah aku kembali ke tubuhku, hubungan Nakula dan Rosa bakal gimana ke depannya?”
“Maaf, aku tidak bisa memberitahumu. Tetapi, aku bisa sedikit memberitahumu tentang masa depan yang akan dilalui oleh Nakula.”
Aku menatapnya tak sabaran.
“Untuk beberapa waktu ke depan, pujaan hatimu itu menghadapi sebuah kesulitan yang akan membuatnya frustrasi.”
“Kesulitan apa?” tanyaku lagi.
“Karena kamu sudah meninggalkan tubuhnya, gadis itu akan terbangun sebagai dirinya sendiri. Yang berarti, dia tidak akan mengingat apa pun selama kamu mengambil alih tubuhnya.”
“Maksudmu, Rosa bakal hilang ingatan?”
“Bukan cuma ingatan. Perasaannya pada Nakula juga akan menghilang.”
“Eh?” Aku tertegun mendengarnya. Bukankah itu berarti … perasaan Nakula jadi bertepuk sebelah tangan?
“Sayangnya, sejak awal perasaan pemuda itu sudah bertepuk sebelah tangan. Karena selama ini, bukan Rosa yang menyukainya, melainkan kamu,” ucapnya, menunjuk wajahku.
“Jadi, Nakula bakal kehilangan kebahagiaan cintanya?”
“Itu tergantung usahanya. Selama mau berusaha, tidak mustahil baginya untuk mendapatkan cinta dari gadis itu.”
Akan tetapi, kuyakin hal itu tidaklah mudah. Bahkan sampai bikin Nakula frustrasi.
Selain berdoa, aku berharap ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantu Nakula.
🍏🍎🍏
Di setiap hubungan, selalu ada masalah yang menyertai. Tidak terkecuali hubunganku dengan Rosa. Hanya saja, tidak kusangka bahwa masalah akan datang begitu cepat. Terlebih, itu bukan masalah sepele.
Di saat hubungan kami baru berusia dua minggu, aku harus menghadapi kenyataan pahit. Rosa mengalami amnesia setelah jatuh dari tangga rumahnya. Tentu saja, aku syok saat tahu kekasihku hilang ingatan, apalagi yang hilang cuma ingatannya selama di Bandung.
Atas saran dokter, Rosa dibiarkan membaik sendiri. Dan untuk mempercepat pemulihan ingatannya, kuhabiskan banyak waktu bersamanya. Hasilnya, nyeri hati yang kudapat lantaran Rosa masih memperlakukanku sebagai orang asing—dan hal itu masih berlanjut sampai hari ini.
Tanpa diminta, ucapan Sadewa kembali mengusik benakku.
“Lalu, gimana kalo Rosa malah jatuh cinta sama cowok lain, apa lo masih mau bertahan?”
Gara-gara pertanyaan itu, aku membentaknya tadi. Tetapi, jika hal itu benar-benar terjadi, apa yang harus kulakukan?
Kucoba mengabaikan pertanyaan itu dan fokus pada jalanan. Begitu tiba di rumah, kutepikan motor.
Aku baru saja membuka helm saat seseorang memanggil namaku. Dari suaranya, sepertinya perempuan—dan terdengar familier di telingaku. Begitu berbalik, aku terpaku melihat si pemilik suara.
“Hai,” sapanya saat sudah berdiri di depanku.
Aku cuma menatapnya. Meski dia sudah bertambah tinggi, aku tetap bisa mengenali gadis berambut panjang keriting ini.
“Buat apa lo ke sini?” tanyaku ketus. Masih segar dalam ingatan saat dia menjebakku dulu. Di sisi lain, aku tidak melupakan alasannya berbuat begitu.
Kuhela napas pelan sebelum berucap lagi, “Sori. Gue lagi banyak pikiran, jadi gampang emosian.”
“Nggak papa kok,” ujarnya, mengulas senyum simpul padaku.
“Mau masuk?”
Kejora menggeleng. “Nggak usah. Aku nggak lama kok, jadi ngobrolnya di sini aja.”
Pandanganku lalu beralih ke supir mobilnya Kejora. “Lo dianter sama bokap lo?”
Kejora cuma mengangguk.
Canggung rasanya, mengingat kami memang sudah lama tidak mengobrol.
“Maaf.”
Kejora memecah hening dengan satu kata itu.
“Aku bener-bener minta maaf,” ujarnya lirih, menundukkan kepalanya.
Entah ada angin apa yang membuat Kejora meminta maaf setelah sekian lama. Akan tetapi, kurasa permintaan maafnya ini tulus.
Aku segera memintanya untuk kembali menegakkan kepalanya.
“Gue juga mau minta maaf sama lo. Kalo aja dulu gue lebih peka, mungkin hal itu nggak akan pernah terjadi.”
Kejora cepat menggeleng, masih dengan kepala menunduk. “Aku yang harusnya minta maaf. Padahal dulu kamu selalu baik sama aku, tapi aku malah jahatin kamu.”
“Udah, nggak usah dibahas lagi. Toh udah lewat juga kejadiannya.”
Hening lagi.
Kali ini, aku yang memecah hening dengan bertanya, “Apa lo jauh-jauh datang dari Surabaya cuma buat minta maaf?”
Kejora baru mau menuruti permintaanku. “Nggak. Aku pengen bilang sesuatu ke kamu.”
“Oh, apa itu?”
Kejora menatap wajahku lekat-lekat. “Jangan nyerah buat dapetin kebahagiaanmu. Meski sulit, tetaplah berusaha. Tapi, jangan paksain dirimu. Dan kalo usahamu gagal, kamu masih bisa dapet kebahagiaan itu dari orang lain.”
Kupandang Kejora dengan wajah heran. Belum sempat bertanya, dia mendahuluiku berbicara.
“Cuma itu bantuan yang bisa kukasih. Selebihnya, aku cuma bisa doain agar kamu segera dapetin kebahagiaanmu.”
Aku semakin heran mendengarnya.
“Aku pulang dulu ya. Kalo Tuhan berkehendak, kita bakal ketemu lagi di masa depan. Dan saat itu terjadi, kuharap kamu udah dapetin kebahagiaan itu. Tapi, kalo belum.” Kejora mengulas senyum manisnya sebelum melanjutkan, “Aku nggak keberatan jadi sumber kebahagiaanmu.”
Tanpa memberi penjelasan, Kejora kembali ke mobilnya. Tak berselang lama, kendaraan tersebut melaju meninggalkanku, yang masih kebingungan memikirkan perkataan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Game: Demi Kebahagiaanmu
Novela JuvenilBlurb: Berkat kejadian di masa lalu, Nakula hidup dalam dunia yang kelabu. Cowok itu menjadi pribadi yang dingin dan skeptis pada orang lain. Rosa, si murid baru yang menjadi teman sebangkunya, pun tidak luput dari sikap buruk cowok itu. Namun, a...