Aku benci hari libur selain akhir pekan—karena pada hari itu, tidak banyak kegiatan yang bisa kulakukan. Paling cuma bermalas-malasan di kamar, diselingi berlatih dengan menghafal lirik atau kunci lagu yang akan kupersembahkan untuk para pengunjung kafe, Sabtu malam nanti—itu pun secara senyap, karena Papa melarangku berisik.
Hari ini pun kegiatanku sama—dan saat sedang fokus berlatih, Bi Ayu mendatangi kamarku.
“Den, ada temen yang mampir, nungguin Aden di ruang tamu,” ujarnya, sebelum aku sempat bertanya.
“Temenku, Bi?” tanyaku, memastikan. Pasalnya, setiap kali ada tamu, kalau bukan dengan Mama atau Papa, berarti punya kepentingan dengan Sadewa.
“Iya, temennya Aden Nakula. Kalo nggak salah, namanya Rosa—”
“Cewek pake kacamata, Bi? Terus, rambutnya di potong sebahu?”
“Iya, Den. Dia cewek dan ciri-cirinya kayak gitu. Ngomong-ngomong, apa dia temen sebangkunya Aden?”
Aku mengangguk. Aku yakin, gadis itu memang Rosa—dan apa pun tujuannya, pasti sesuatu yang merepotkan.
Meski enggan, tetapi aku tetap menuju ruang tamu—karena aku tidak memiliki alasan untuk tidak menemui gadis itu. Saat menuruni anak tangga, langkahku melambat begitu mendengar ucapan Sadewa.
“Demi kebaikan lo, mending lo jauhi Nakula—karena kakak gue itu bukan cowok baik-baik.”
Aku pun memutuskan berhenti di anak tangga terakhir.
Tidak lama kemudian, Rosa menimpali, “Kamu bukan orang pertama yang ngingetin aku soal itu, tapi jawabanku tetep sama. Aku nggak percaya sama rumor buruk Nakula.”
“Dan lo bukan cewek pertama yang ngeyel dikasih tahu. Atau jangan-jangan, lo punya niat tersembunyi? Misalnya, manfaatin otak kakak gue buat naikin nilai pelajaran lo?”
“Den Nakula lagi ngapain di situ?”
Aku menoleh, mendapati Bi Ayu berjalan mendekat sambil membawa dua stoples berisi camilan. Tak berselang lama, terdengar langkah kaki dari ruang tamu, sebelum muncul sosok gadis bergaun biru muda selutut di ruang keluarga.
“Kamu lagi ngapain di sini?”
Apes, aku ketahuan sedang menguping.
🍎🍏🍎
“Nih ambil.”
Aku memandang datar Rosa yang menyodorkan kunci mobilnya padaku.
“Sebagai hukuman karena kamu nggak baca chat-ku semalem, kamu harus jadi supirku sampai kita pulang nanti.”
Udah maksa gue buat nemenin lo jalan, sekarang minta gue jadi supir lo?
Aku tiba-tiba mendapat sebuah ide jahil.
“Boleh.” Kuterima kuncinya, lalu masuk ke mobil. “BTW, gasnya yang kiri atau yang kanan?" tanyaku, begitu mesin mobil sudah menyala.
Rosa menoleh padaku. “Kamu nggak bisa bawa mobil?”“Emangnya ada manusia yang bisa bawa mobil? Kan mobil beratnya nggak sekilo dua kilo.”
“Maksudku, kamu nggak bisa nyetir mobil?”
“Bisa, akal latihan dulu—dan gue pasti lancar nyetirnya setelah nabrak satu atau dua kali.”
Rosa cuma memandangku datar, kemudian turun dari mobil. Setelah bertukar tempat, gadis di sampingku ini mulai menjalankan mobilnya.
“Lo harusnya—”
“Panggil aku cantik setiap kali kita cuma berdua!”
Kuhela napas pelan, mencoba sabar. “Kenapa Cantik nggak ngajak Budi aja? Dia pasti seneng banget bisa nyupirin cecan kayak Cantik. Atau kalo nggak, Cantik bisa ngajak temen sekelas kita yang lain. Dewi misalnya.”
“Nggak deh. Lagian aku akrabnya cuma sama kamu.”
“Akrab karena ada udang di balik batu,” timpalku lirih, tetapi kuyakin gadis ini masih bisa mendengarnya.
Huft
Helaan napas terdengar dari kursi sampingku. “Kalo kamu mikirnya gitu, maka aku nggak akan nyangkal. Tapi kamu harus percaya satu hal.”
Rosa tiba-tiba menepikan mobilnya. Dia menoleh padaku, sebelum berujar, “Aku nggak sebrengsek cewek yang pernah jadi pacarmu.”
Aku terkejut mendengarnya. “Apa Bu Nur yang ngasih tahu hal itu?”
“Iya, tapi kamu jangan nyalahin Tante Nur—soalnya aku yang maksa dia buat ngasih tahu segala sesuatu tentang kamu.”
Meski Rosa berkata demikian, aku tetap kecewa pada Bu Nur yang sudah membeberkan privasiku pada orang lain. Kemungkinan, beliau juga yang memberitahu gadis ini alamat rumahku.
Tapi buat apa nih cewek ngorek informasi tentang gue?
“Jujur, aku emang berniat manfaatin kamu, seperti yang Sadewa bilang.”
Suara Rosa menyadarkanku dari lamunan.
“Tapi aku baru kepikiran hal itu pas pulang sekolah. Selain itu, aku nggak berniat manfaatin kamu tanpa ngasih imbalan.”
Dari sling bag-nya, Rosa mengeluarkan sebuah amplop cokelat, kemudian disodorkan padaku. “Di dalam amplop ini ada uang 1.000.000 rupiah. Aku pengen kamu—”
“Ngerjain setiap tugas sekolahnya Cantik?”
Di luar dugaan, Rosa menggeleng.
“Aku pengen kamu jadi guru privatku. Ajarin aku pelajaran eksakta sama Bahasa Jepang—dan uang ini sebagai bayaranmu buat empat pertemuan mendatang. Harinya bisa Sabtu atau Minggu, sementara jamnya terserah kamu.”
Aku tidak langsung menerima uangnya—hanya memandang Rosa dengan satu pertanyaan di benak. Sebenernya tujuan lo deketin gue tuh apa sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Game: Demi Kebahagiaanmu
Fiksi RemajaBlurb: Berkat kejadian di masa lalu, Nakula hidup dalam dunia yang kelabu. Cowok itu menjadi pribadi yang dingin dan skeptis pada orang lain. Rosa, si murid baru yang menjadi teman sebangkunya, pun tidak luput dari sikap buruk cowok itu. Namun, a...