23. Nakula Bercerita: Kembaran Pembawa Masalah, Bagian Kedua

1 1 0
                                    

Setiap tindakan selalu ada karma yang mengikuti. Namun, sering kali karma itu tidak langsung datang. Seperti yang terjadi pada Sadewa. Adikku itu baru mendapat karmanya enam tahun kemudian. Tidak hanya ditampar oleh Mama dan Papa, Sadewa juga mengalami kecelakaan tunggal lantaran kebut-kebutan di jalan raya—kuduga dia berbuat begitu untuk melampiaskan emosinya. Beruntung Tuhan tidak mengirim malaikat maut dan hanya membuatnya koma. Keesokan paginya, Sadewa sudah siuman.

Aku mendapat kabar itu dari Mama, yang menggantikanku menjaga Sadewa.

Dan sekarang, aku sudah tiba di kamar rawatnya Sadewa.

“Buat apa lo ke sini?” tanyanya ketus.

Kuangkat tangan kanan yang membawa kantong plastik putih yang berisi buah tangan. “Jenguk lo. BTW, lo masih doyan pir, kan?”

“Nggak butuh. Gue juga nggak mau lihat wajah lo lagi.”

Kuabaikan respon ketusnya. Aku meletakkan buah tangan di meja lalu duduk di bangku lipat, bersebelahan dengan ranjangnya Sadewa. “Gimana keadaan lo? Masih ada yang sakit?” tanyaku berbasa-basi.

“Menurut lo?” Sadewa tetap bersikap ketus, bahkan dia lebih memilih memandang tembok dibanding wajahku.

Yah, sepertinya aku harus banyak bersabar setiap kali mengobrol dengan Sadewa.

“BTW, ada kabar baik buat lo. Mama sama Papa udah mencabut hukuman lo,” ucapku seramah mungkin.

Sadewa mendengkus. “Itu pasti perbuatan lo. Iya, kan?” Dia mengerling padaku, lalu berucap mendahuluiku, “Lo juga yang udah memengaruhi Mama, kan? Sampai-sampai Mama mau ngerepotin diri buat jagain gue semalem.”

“Itu berarti, Mama masih sayang sama lo.”

Lagi, Sadewa mendengkus. “Sayang kata lo? Kalo bukan lo yang ngomong, mana mungkin Mama bersikap baik ke gue? Dia kayak gitu karena takut anak emasnya ngambek.” Sadewa jelas sedang menyindirku.

“Dan jangan berharap gue sudi berterima kasih sama lo!”

“Terserah. Toh, gue sendiri yang pengen bantuin lo.”

“Gue nggak butuh bantuan lo!”

Huft

Entah mau sampai kapan nih anak musuhin gue.

Lantaran tak ada yang bisa diobrolkan lagi—atau mungkin aku sudah malas menanggapi “keramahtamahan” Sadewa—kuputuskan untuk pamit. Selain itu, aku masih punya jadwal mengajar Rosa yang terpaksa kuundur demi menjenguk Sadewa.

“Gue nggak bakal minta maaf, kecuali lo mau jauhin Aya.”

Aku batal pergi dan kembali duduk di kursi lipat. “Lo suka sama Aya?”

“Kalo iya, emangnya kenapa?”

Aku tersenyum, sebisa mungkin tidak tertawa. Lucu saja rasanya. Dulu, semasa Aya masih bulat bak ransel hamil, Sadewa cenderung cuek, bahkan saat gadis itu diganggu para anak nakal. Tetapi, setelah Aya menjadi kupu-kupu yang cantik, adikku ini langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Setelah berhasil menguasai diri, aku berucap bijak, “Gue nggak mengharapkan permintaan maaf yang nggak tulus. Tapi, sebagai kakak, gue punya saran buat lo. Lo harus berubah jadi pribadi yang baik agar layak buat Aya. Terus berusaha, jangan egois, dan hargai keputusannya. Bersyukur kalo perasaan lo diterima. Kalo sebaliknya, lo harus tabah dan jangan musuhin dia, apalagi bertindak bodoh. Paham?”

Sadewa berdecak, memandangku jengkel. “Gue nggak minta saran, gue cuma minta lo buat jauhin Aya!”

“Sori, gue nggak bisa. Karena Aya itu sahabat gue, jadi gue pengen dia berpasangan sama orang baik-baik.”

“Maksud lo, gue orang jahat, gitu?!” Sadewa mulai meradang.

Lagi, kuhela napas pelan. “Menurut lo, orang yang nyoba ngehancurin hidup kakaknya sendiri, pantesnya disebut orang baik atau orang jahat?”

Sadewa membisu. Dia kembali memandang dinding.

Sembari menepuk bahunya pelan, aku berujar, “Sa, selama lo bisa jadi pribadi yang lebih baik, gue bakal dukung lo. Bahkan, gue bakal bantuin lo. Baik bantuin dapetin hatinya Aya ataupun restu kedua orang tuanya. Dan lo tenang aja, sekalipun kami akrab kayak dulu, gue nggak bakal ngerebut Aya dari lo—”

“Karena lo menyukai Rosa?” Sadewa kembali melirikku.

Aku tersenyum, tidak berniat memberinya jawaban. “Pokoknya lo tenang aja, gue janji nggak bakal ngerebut Aya. Kalo sampai kejadian—”

“Gue bunuh lo saat itu juga.”

Bulu kudukku meremang. Kuyakin, Sadewa yang sekarang serius dengan ucapannya. Bukan hanya aku, mungkin semua cowok yang berani merebut Aya akan berakhir tragis.

Semoga lo cepet berubah, Sa. Kalo nggak, gue terpaksa jeblosin lo ke penjara, sebelum lo datengin masalah buat keluarga kita maupun orang lain.

Fate Game: Demi KebahagiaanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang