08. Anonim Bercerita: Kepedulian?

2 2 0
                                    

“Maaf ya, udah bikin kamu nunggu lama.”

Aku tersenyum pada Tante Nur yang baru masuk ke mobil. “Nggak papa, Tante. Ngomong-ngomong, gimana tadi ngelatih narinya? Lancar?”

“Iya, lancar. Eh ya, Nakula udah pulang duluan?” Tante Nur balik bertanya, sambil menjalankan mobilnya dengan pelan.

“Iya, udah dari tadi pulangnya.”

“Nggak kamu tawarin buat pulang bareng?”

“Udah, tapi anaknya nggak mau. Katanya, nggak mau ngerepotin Tante.”

“Nakula emang gitu.” Sejenak, Tante Nur melihat kanan dan kiri, sebelum menjalankan mobilnya masuk ke jalan raya. “Dia selalu nolak setiap kali Tante tawarin pulang bareng, kecuali kalo dipaksa. Jadi lain kali, kamu paksa dia pake ancaman apa gitu.”

“Aku nggak enak, Tante. Apalagi seharian tadi aku udah paksa dia buat penuhin setiap permintaanku.”

Tante Nur melirikku sekilas. “Kamu nggak keterlaluan sama Nakula, kan?”

Aku cepat menggeleng dan memilih berterus terang, meski ada beberapa hal yang tidak kuberitahu. Salah satunya adalah kejadian di perpustakaan, karena aku tidak mau kena omel.

“Karena seharian tadi kalian bareng terus, menurutmu, Nakula itu cowok bejat atau bukan?”

“Tante lagi ngomonging rumor buruknya Nakula?”

Tante Nur cuma mengangguk.

“Menurutku, dia cowok baik-baik.”

“Kita satu pemikiran.” Sembari fokus pada jalan raya, Tante Nur lalu berujar, “Sebenarnya banyak yang nggak percaya sama rumor itu—dan banyak dari mereka yang pengen akrab sama Nakula. Tapi mereka pada nggak suka sama sifatnya, jadi memilih buat nggak peduli. Ada juga yang ikut-ikutan diskriminasi Nakula karena sakit hati.”

Aku terdiam, kembali merasa bersalah.

“Kamu mau tahu nggak, alasan Nakula bersikap buruk sama murid lain, termasuk sama kamu?”

Meski sudah mengetahuhinya, aku tetap mengangguk.

“Nakula trauma. Setelah dijebak sahabat dan dimanfaatin mantan pacarnya, dia kehilangan kepercayaan sama orang lain. Jadi, Nakula pun memilih buat bentengin diri dengan sikap buruk agar orang lain pada menjauh—tapi mungkin dia nggak akan seterpuruk sekarang, kalo aja orang tuanya nggak ikut-ikutan memercayai rumor buruk itu.”

“Apa Tante tahu, gimana caranya balikin nama baik Nakula? Soalnya aku pengen orang-orang berhenti nganggep dia sebagai cowok bejat.”

Lagi, Tante Nur mengerling sekilas padaku. “Satu-satunya cara, kamu temui sahabatnya Nakula, dalang di balik rumor itu, lalu minta dia buat mengakui kesalahannya. Tapi, kalo kamu nggak tahu alamat rumahnya, mending batalin niatmu—karena di sini nggak ada yang tahu di mana dia tinggal sekarang. Selain itu, kalopun kamu berhasil menemuinya, belum tentu dia mau diajak kerja sama.”

“Apa nggak ada cara selain itu, Tante? Misalnya, aku diem-diem bikin video yang isinya maksa Nakula berbuat bejat—tapi anaknya nggak mau, sekalipun udah kuancam.”

“Sebaiknya kamu nggak melakukannya, karena cara itu bisa jadi bumerang buat Nakula.”

Yah, usahaku tadi sia-sia dong? Tapi, aku nggak mungkin pake sarannya Tante Nur, apalagi dengan kondisiku sekarang.

“Rosa.”

Aku tersadar dari lamunan. “Iya, Tante?”

“Kamu naksir Nakula ya?”

“Kenapa Tante nanya gitu?”

“Soalnya kamu kelihatan peduli banget sama Nakula, padahal belum ada sehari kamu mengenalnya.”

Tante salah. Aku udah lama kenal sama Nakula.

“Aku cuma peduli sama dia, Tante.”

“Masa?”

“Kok Tante maksa sih?” Aku pura-pura tersinggung, agar Tante Nur berhenti menggodaku.

Wanita di sebelahku ini kembali melirikku sekilas. “Kalo kamu emang peduli sama Nakula, kamu cukup jadi temen baiknya dan jangan ninggalin dia kayak yang lain. Tapi, agar Nakula menganggapmu sebagai temennya, kamu harus dapetin kepercayaannya—dan Tante tahu langkah pertama yang bisa kamu ambil.”

Fate Game: Demi KebahagiaanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang