03. Nakula Bercerita: Ketiban Sial

2 2 0
                                    

Kuakhiri lagu ini dengan petikan lembut pada senar gitar, lalu terdengar suara tepuk tangan. Aku menoleh pada Bu Nur—yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu.

“Performamu emang selalu bagus. Coba aja ruangan ini nggak kamu kunci, pasti rame sama cewek-cewek yang pengen lihat kamu nyanyi sambil main gitar.”

Aku tersenyum kecil mendengar pujiannya. “Udah dari kapan Ibu ada di sana?” tanyaku berbasa-basi, tanpa beranjak dari kursi tempatku duduk.

Bu Nur berjalan mendekat, seraya berkata, “Penutupan lagu. Sayang banget Ibu nggak sempet denger suaramu pas lagi nyanyi. Ngomong-ngomong, apa judul lagu yang barusan kamu mainin?”

“Setia, karya Zivilia.”

Bu Nur cuma ber-oh singkat dan kini, beliau sudah berdiri di sampingku. “Oh iya, Ibu ada kabar baik buat kamu.”

Aku menaikkan sebelah alis. “Kabar baik?”

Bu Nur mengangguk. “Besok, kelasmu bakal kedatangan murid baru. Namanya Rosa Nirduri, seorang model. Anaknya cantik—dan dia bakal jadi temen sebangkumu lho.”

“Maaf, Bu, aku nggak tertarik punya temen sebangku,” ujarku lugas. “Tapi, kalo Ibu pengen dia duduk di bangku depan, aku bisa pindah ke bangku belakang.”

“Sayangnya, Ibu pengen kamu menemaninya di bangku depan.”

Aku memandang Bu Nur curiga. “Jangan bilang, Ibu sengaja nambahin murid baru itu ke kelasku, agar aku temenan sama dia?”

“Kamu emang murid cerdas,” jawabnya disertai tepukan ringan di bahuku. “Jadi Ibu harap, kamu bisa bersikap baik padanya. Yah minimal, kalo ngomong difilter dikit, biar nggak nyakitin perasaannya.”

Aku hanya mengiyakan, demi mencegah perdebatan yang tidak penting—di saat bersamaan, benakku ikut menimpali, Maaf, Bu, tapi aku nggak berminat punya temen atau semacamnya. Jadi aku nggak akan bersikap baik sama murid baru itu.

🍏🍎🍏

Hari ini, kelas lebih berisik dibanding biasanya. Terlebih dari kalangan murid cowok—mereka sangat lebay hanya karena kedatangan murid baru, bahkan melebihi Tarzan saat pertama kali bertemu sesama manusia.

Rasanya aku ingin menyendiri di ruang musik, tetapi sepasang kaki ini terlalu malas bergerak setelah mengayuh sepeda sejauh dua kilometer—rutinitasku setiap berangkat dan pulang sekolah. Alhasil, aku hanya bisa bersabar menunggu dering bel pertama.

Begitu bel berbunyi, aku pun langsung menegakkan tubuh dan menyimpan ponsel beserta sepasang earphone pada laci meja, bersamaan dengan masuknya Bu Nur. Kali ini beliau tidak sendiri, melainkan bersama seorang cewek yang membuat kelas kembali gaduh—bahkan muncul sindiran yang ditujukan padaku.

Tersinggung? Tidak sama sekali. Sindiran serta hujatan ibarat nasi yang kumakan setiap hari. Justru aku berharap, obrolan mereka berlanjut sampai ke rumor burukku, agar aku tidak perlu repot mengambil tindakan pada gadis itu untuk membuatnya menjauh. Sayangnya, mereka langsung terdiam begitu ditegur oleh wali kelas kami.

Aku pun terpaksa mengambil tindakan saat murid baru itu mulai memperkenalkan diri. “Rosa Nirduri. Cukup itu aja yang perlu kami tahu. Selebihnya nggak menting,” ujarku datar. Aku lalu cepat menambahkan. “Jujur aja, kalo bukan permintaan Bu Nur, gue lebih memilih duduk sendirian di bangku belakang ketimbang harus duduk di samping cewek pembawa sial kayak lo.”

Fate Game: Demi KebahagiaanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang