02. Nakula Bercerita: Masa Lalu

4 3 0
                                    

Nakula. Itu nama pemberian mendiang Oma. Beliau kelahiran Semarang dan sangat menyukai budaya wayang kulit. Jadi, nama Nakula dan Sadewa dipilih karena takdir menghendaki Mama memiliki anak kembar. Harapannya agar kami memiliki sifat dari kedua karakter pemayangan tersebut.

Berbicara soal sifat, dulu aku tidak seperti sekarang, yang dikenal sebagai cowok dingin bermulut tajam. Sebaliknya, aku ceria, gampang bersahabat, dan menghargai orang lain. Perubahan itu mulai terjadi ketika satu demi satu warna menjadi kelabu.

Di mulai ketika Kejora, sahabatku, menjebakku. Kejadiannya di perpustakaan, saat kami masih kelas VI SD. Seperti biasa, setiap kali menunggu kantin sepi pada jam istirahat kedua, aku, Sadewa, dan Kejora menunggu di perpustakaan. Kami memilih gudangnya buku itu karena jaraknya yang terbilang dekat dengan kantin. Plus, sekalian membunuh bosan dengan membaca komik.

Saat itu, aku dan Kejora cuma berdua di balik sebuah rak. Ketika lagi asyik membaca komik Naruto, Kejora menyentak tangan kananku. Aku yang tidak siap, limbung ke arahnya dan ikut terjatuh. Dia sempat berteriak karena kepalanya membentur kursi—teriakannya pula yang memancing Sadewa ke tempat kami.

Di situlah semua masalah dimulai. Sadewa melihatku menindih Kejora yang mulai terisak, diperparah dengan tangan kananku menekan dada kirinya. Aku mencoba menjelaskan, tetapi Sadewa enggan percaya. Lalu, keadaan semakin runyam begitu datang murid lain, juga guru penanggung jawab perpustakaan.

Akhirnya, aku dan Sadewa digiring ke ruang BK, sementara Kejora di bawa ke UKS untuk mendapat pertolongan pertama karena kepalanya terluka. Di ruang BK, kami berdua dimintai keterangan. Aku masih kukuh bahwa Kejora sengaja menarik tanganku, tetapi disangkal oleh Sadewa yang lebih memercayai prasangka buruknya.

Tidak lama kemudian, Kejora ikut dimintai keterangan di ruang BK. Aku begitu terkejut mendengar pengakuannya. Dia berkata bahwa aku berusaha memerkosanya. Tentu saja, aku menyangkal tuduhan itu, tetapi sia-sia. Guru BK lebih memercayai keterangan Kejora yang didukung Sadewa sebagai saksi.

Setelah itu, bisa ditebak apa yang terjadi. Hari itu juga, orang tua kami dipanggil ke sekolah. Karena ayahku dan ayahnya Kejora lagi kerja, alhasil hanya ibu kami yang datang. Apes, keduanya sama-sama lebih memercayai rekayasa Kejora. Bahkan ibunya Kejora berniat membawa ke jalur hukum, tetapi urung karena sogokan Mama. Aku masih bisa bersekolah di sana juga berkat bantuan Mama.

Akan tetapi, kehidupanku tidak seperti dulu lagi. Sikap Mama dan Papa berubah 180 derajat. Mereka bersikap dingin, setelah mengasariku untuk pertama kalinya.

Tidak cuma itu, aku mulai dijauhi dan dicibir oleh orang lain. Ada juga yang terang-terangan menghujatku. Sadewa salah satunya. Kejora? Gadis itu pindah ke Surabaya, sehari setelah insiden rekayasanya.

Selama dua tahun lebih, hidupku menjadi kelabu, sampai akhirnya gadis itu muncul. Mutiara Putih, murid pindahan asal Jayapura. Dia menjadi teman sebangkuku.

Saat itu, aku senangnya bukan main. Setelah empat semester lebih duduk sendirian, akhirnya aku memiliki teman sebangku. Cantik pula orangnya. Namun, aku khawatir dia akan sama seperti yang lain—ikut menjauh setelah mengetahui rumor buruk itu.

Akan tetapi, di luar dugaan, dia enggan memercayai rumor tersebut. Meski murid lain mencoba meyakinkannya, Mutiara tetap yakin bahwa aku tidak mungkin melakukan perbuatan bejat itu.

Bukan cuma membela, gadis itu juga menjadi teman pertamaku sejak rumor itu beredar. Dia baik dan perhatian, membuatku jatuh hati padanya—itu kali pertama aku mengenal cinta.

Namun, karena takut perasaan itu memengaruhi hubungan kami, aku terus memendamnya. Lalu, hal yang tidak terduga terjadi. Pada awal semester pertama kelas IX, Mutiara mengungkapkan perasaannya kepadaku. Aku senang sekali mendengarnya—dan sejak hari itu, kami pun resmi berpacaran.

Lucu sekali saat mengingat masa itu. Begitu bodohnya aku, ketika menganggapnya sebagai bidadari yang Tuhan utus untuk menemaniku dalam kesendirian. Kenyataannya, dia muncul untuk menerbangkanku tinggi ke langit, sebelum dijatuhkan ke dasar jurang.

Fakta menyakitkan itu aku terima dari Sadewa, selang satu hari setelah sesi UN berakhir. Tanpa banyak penjelasan, dia memutar sebuah video yang berisi obrolan Mutiara bersama dua orang temannya di sebuah kamar. Aku mengenali keduanya meski wajah mereka tidak muncul dalam video, juga bisa menebak siapa yang merekam video itu. Akan tetapi, fokusku hanya pada Mutiara yang disorot kamera secara diam-diam.

Pengakuannya sungguh membuatku terkejut, sekaligus sakit hati. Gadis itu ternyata hanya memanfaatkanku untuk menaikkan setiap nilai pelajarannya—aku memang sempat berpikir demikian, tetapi langsung kubuang jauh-jauh prasangka buruk itu.

Bahkan meski sudah melihat video tersebut, aku tetap enggan menerimanya. Baru setelah mendengarnya langsung dari mulut Mutiara pada hari itu juga, aku terpaksa menelan pil pahit—dan peristiwa itulah yang membuatku menjadi seperti sekarang.

Fate Game: Demi KebahagiaanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang