Beginikah rasanya menjadi populer? Cuma turun dari taksi, semua mata langsung tertuju padaku. Sayangnya, aku tidak memiliki waktu untuk menikmati populeritas ini, karena ada tugas yang harus segera kuselesaikan.
Kupandangi nama sekolah baruku. Setelah sekian lama berpisah, nggak nyangka kita bakal ketemu lagi.
🍏 🍎 🍏
Orang itu bener, kamu emang udah berubah.
“Rosa.”
Aku menoleh pada Tante Nur.
“Kamu bisa duduk di bangku depan yang kosong. Sementara kamu, Nakula,” ucapnya, memandang tajam cowok yang menyela perkenalanku. “Kamu ke kantor sekarang, temui Ibu di sana!”
Nakula tidak membantah—justru terlihat takut, seperti dua cowok yang tadi sempat ditegur oleh Tante Nur. Dia meninggalkan kelas diiringi cibiran dan hujatan dari murid lain—membuatku bersimpati, sekaligus tak enak hati.
“Dan buat kalian, tolong jangan berisik selagi Ibu tinggal sebentar.”
Semua murid mengiyakan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Banyak murid yang mengerubungiku setelah kepergian Tante Nur. Aku dibuat kerepotan, tetapi tetap mengabulkan apa yang mereka minta.
“Thanks buat tanda tangan lo," ucap gadis dengan style sama sepertiku. Dari bangkunya dia mengulurkan tangan katanya.
Begitu aku menjabat tangannya, gadis ber-name tag Dewi Lestari ini mulai memperkenalkan diri. Dia juga mengaku sebagai penggemar beratku.
“BTW, lo sebaiknya hati-hati sama Nakula,” ujar Dewi, lalu menambahkan. “Meski wajahnya ganteng, otaknya encer, plus pinter main gitar sama nyanyi, tapi kelakuannya bejat. Dulu, pas masih kelas VI SD, dia mau perkosa sahabatnya di perpus yang lagi rame.”
“Kamu lihat sendiri kejadiannya?”
“Nggak sih, tapi ada kok saksinya. Namanya Sadewa. Dia anak kelas XII IPA 5, kembarannya Nakula. Selain itu, Kejora—cewek yang hampir diperkosa Nakula—juga ngasih keterangan bahwa Nakula berniat perkosa dia di perpus.”
“Tuh cowok juga sombong. Terus kalo ngomong nggak disaring dulu, nggak mikirin perasaan orang lain.” Budi tiba-tiba menyahut, yang dibenarkan oleh murid lain.
Aku tersenyum, sebelum membalas, “Aku yakin, rumor itu nggak bener. Karena terkadang, sesuatu yang kita lihat atau denger belum tentu seperti yang kita kira. Dan soal kelakuan minusnya—nyombongin diri atau ngomong kasar kayak tadi, aku yakin ada alasan dibalik sikapnya itu. Misalnya, dia takut cuma dimanfaatin, jadi memilih buat bersikap buruk biar nggak ada yang mau jadi temennya.”
Sayangnya, kalimat panjangku itu tidak mampu mengubah penilaian mereka terhadap Nakula.
🍎🍏🍎
Awalnya kupikir akan sulit menembus tembok luar yang Nakula bangun. Namun, berkat perbuatannya tadi, ada celah yang bisa kumanfaatkan untuk lewat.
Nakula membutuhkan tanda tanganku pada surat permintaan maafnya, sebelum diserahkan ke wali kelas kami sepulang sekolah nanti. Tentu saja, aku tidak akan memberikannya dengan mudah, sekalipun tidak ada pemberitahuan dari Tante Nur.
Diam-diam, aku membaca surat yang Nakula buat.
'Maaf. Aku tadi lagi bad mood, jadi nggak bisa ngontrol emosi. Jujur, aku merasa bersalah dan berjanji nggak akan mengulanginya lagi.'
Ketidakseriusan cowok di sampingku ini membuatku ingin kembali menjahilinya.
“Dikit amat. Kamu bikinnya nggak niat ya? Masa cuma segitu?”
Nakula menoleh, memberiku seulas senyum sebelum berujar, “Cantik, lebih bagus begini ketimbang yang bertele-tele.”
Aku terkekeh dalam hati melihat Nakula dengan terpaksa bersikap ramah padaku, plus memanggilku cantik. Merasa terhibur, aku pun memutuskan melanjutkan kejahilan ini.
“Kalo gitu, tulis ulang sampe satu lembar penuh.”
Nakula mengiyakan, tetapi dia pasti sedang menahan kesal sekarang—dan terbukti, Nakula jengkel saat aku membagi bekalnya tanpa izin, meski akhirnya dia merelakan bekalnya kumakan demi mendapatkan tanda tanganku.
“Makasih, makanannya enak. BTW, siapa yang masak?”
Nakula membisu, memandang datar kotak bekalnya yang sudah kosong. Tak tega, aku pun menggantinya dengan selembar uang biru. Dia menerimanya tanpa mengatakan apa pun.
“Jadi, siapa yang masak?” tanyaku lagi.
“Bi Ayu, ART di rumah gue."
Ternyata Bi Ayu masih kerja di rumahmu ya, timpalku dalam hati.
“Eh ya, Dewi bilang kamu bisa nyanyi sambil gitaran, jadi aku pengen lihat penampilanmu di ruang musik. Nanti, pas istirahat kedua, sekalian temenin aku keliling sekolah.”
“Cantik yakin mau minta itu?”
Aku memandangnya bingung. “Apa ada yang salah sama permintaanku?”
“Cantik belum tahu soal rumor buruk gue ya?”
“Udah, tapi apa hubungannya sama permintaanku?”
Nakula tersenyum kecil. “Gini lho, permintaan Cantik itu bisa nimbulin gosip yang nggak enak didenger. Emangnya Cantik mau, dirumorin sebagai cewek nggak bener cuma gara-gara akrab sama si bejat dari SMANSABAN? Nggak, kan? Dan jangan sampai kejadian, karena hal itu bisa berpemgaruh buruk buat karir Cantik sebagai model.”
“Kamu ada benernya,” ucapku, pura-pura sepemikiran. “Tapi aku nggak peduli. Kalopun rumor itu muncul, aku tinggal klarifikasi. Beres deh. Selain itu, aku nggak percaya sama rumor burukmu.”
Nakula kembali mendatarkan wajahnya. “Terserah lo deh," timpalnya ketus—mungkin kesal, karena cara halusnya gagal membuatku menjauh.
Aku membalas dalam hati, Nggak peduli seberapa keras usahamu, aku nggak bakal pergi dari sisimu.
![](https://img.wattpad.com/cover/347914523-288-k943225.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Game: Demi Kebahagiaanmu
Ficção AdolescenteBlurb: Berkat kejadian di masa lalu, Nakula hidup dalam dunia yang kelabu. Cowok itu menjadi pribadi yang dingin dan skeptis pada orang lain. Rosa, si murid baru yang menjadi teman sebangkunya, pun tidak luput dari sikap buruk cowok itu. Namun, a...