13. Nakula Bercerita: Bisakah Dipercaya?

3 2 0
                                    

Seperti biasa, setiap Sabtu pagi, aku ada jadwal mengajar Dini, anak semata wayang Bu Nur dan Om Wahyu, suaminya.

Biasanya, aku berangkat naik ojol, lalu pulangnya diantar oleh Bu Nur atau suaminya. Tetapi terkadang, saat aku ingin menghemat uang, juga tidak ingin merepotkan orang tua Dini, aku nekat menempuh jarak sekitar lima kilometer dengan mengayuh sepeda. Pulang pergi, jadi total jarak yang kutempuh adalah 10 kilometer.

10 kilometer! Masih terbayang dalam benakku, betapa lelahnya sepasang kaki ini begitu tiba di rumah. Beruntung, aku tidak akan merasakan siksaan itu hari ini, karena Bu Nur berniat mengantar jemputku.

Aku tengah menunggu di depan gerbang, saat melihat SUV merah yang kukenali melaju mendekat.

Begitu berhenti, aku membuka kursi belakang untuk meletakkan tas dan gitar yang kubawa. Aku lalu masuk lewat pintu depan dan duduk di samping kursi pengemudi.

“Udah lama nunggunya?”

Aku tersenyum, sebelum menggeleng pelan.

“Ngomong-ngomong, hal penting apa yang pengen Ibu bicarain sama aku?” tanyaku, begitu mobil mulai berjalan.

Semalam, Bu Nur menelepon. Beliau menawariku tumpangan ke rumahnya. Meski sempat menolak, aku akhirnya menerima tawaran beliau, karena penasaran dengan hal penting yang ingin disampaikannya padaku.

“Menurutmu, Rosa itu anaknya gimana?”

Mendengarnya, aku bisa menebak hal penting yang ingin dibicarakan wali kelasku ini. “Jadi, hal penting yang pengen Ibu bicarain itu tentang Rosa?”

Bu Nur mengerling sekilas padaku, kemudian tersenyum.

Kayaknya, tebakan gue bener.

“Kenapa Ibu nanyain hal itu?” Aku balik bertanya.

“Pengen tahu aja, tentang penilaianmu pada ponakan Ibu itu.” Beliau lalu kembali mengulang pertanyaannya.

“Dia baik,” jawabku, setelah terdiam beberapa saat.

“Nakula, jawabanmu nggak meyakinkan.”

Aku sudah menduga respons beliau.

“Kamu masih berpikir, Rosa punya niat buruk deketin kamu?”

Aku cuma berkata maaf dengan lirih.

Bu Nur menghela napas kecil. “Kalo gitu, menurutmu, apa tujuannya deketin kamu?”

“Aku nggak tahu.” Kali ini, aku menjawab dengan lebih cepat. “Sebelumnya, aku pernah nanyain tujuannya, tapi jawaban Rosa bikin kesel. Katanya, dia pengen membahagiakanku.”

“Rosa bilang begitu?”

Aku mengangguk.

Sedetik kemudian, seulas senyum terbit dari wajah wanita di sampingku ini. “Nakula, itu artinya, Rosa suka sama kamu. Dan cuma itu alasan paling logis atas sikapnya ke kamu selama ini.”

Aku terdiam. Pertanyaan itu kembali melintas dalam benakku. Apa bener, Rosa suka sama gue?

🍏 🍎 🍏

Riuh tepuk tangan memenuhi kafe begitu aku menyelesaikan lagu terakhir. Lagu request dari salah seorang pengunjung kafe minggu lalu, yang sebenarnya tidak ingin kunyanyikan.

Jiwa yang Bersedih karya Ghea Indrawari, membuatku teringat kembali kenangan-kenangan buruk itu. Dadaku sesak saat satu persatu memori itu berputar dalam benak, bahkan sampai membuatku menitikkan air mata.

Beruntung, aku mengenakan topeng setengah wajah yang bisa menutupinya—aku selalu mengenakan topeng setiap manggung di kafe ini—dan bisa mengendalikan diri. Akan tetapi, berkat lagu itu penampilanku malam ini mendapat lebih banyak applause. Banyak pengunjung yang ternyata terbawa suanasa.

Fate Game: Demi KebahagiaanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang