Sabtu ini, setelah selesai mengajar Dini dan berlatih di sana seperti biasa, aku berniat mengunjungi Rosa. Hari ini, dia tidak mampir ke rumah sepupunya karena Tante Kirana masih melarangnya bepergian, jadi aku pun diminta datang untuk mengajarinya bermain gitar—padahal awalnya aku hanya ingin menjenguk gadis itu.
Karena jarak yang dekat—rumah mereka satu kompleks dan hanya dibatasi belasan rumah serupa—hanya dalam beberapa menit dengan berjalan kaki, aku sudah tiba di tujuan. Kini, aku bersama Rosa sudah berada di ruang keluarga, tempat di mana kami belajar bersama.
Namun, belum juga mulai berlatih, Rosa sudah mengeluh bosan karena aku kembali memintanya mengulang praktik kunci dasar gitar.
“Udah mau sebulan lho, masa cuma belajar kunci dasarnya doang? Kapan praktek lagunya coba?” kata gadis bermidi dress biru muda di sampingku ini.
“Jangan berpikir buat praktek lagu, kalo lo belum bisa hafalin setiap kunci dasarnya.”
“Kan aku udah hafal.”
“Nggak bisa disebut hafal, kalo masih ada jeda setiap kali lo mempraktekkan kunci dasar yang gue sebut.”
Wajah Rosa berubah cemberut. “Kalo gitu, hari ini aku nggak jadi latihan.” Dia menyerahkan gitar dalam pangkuannya padaku.
Tetapi, wajah gadis ini berubah memelas saat melihat Tante Nur mendatangi kami dengan sebuah nampan berisi dua cangkir teh dan stoples camilan.
“Maaa.” Rosa memanggil ibunya dengan nada merengek. “Aku boleh jalan-jalan ya? Aku suntuk di rumah terus.”
Tante Kirana meletakkan isi nampan di meja di depan kami. Beliau lalu memandang anaknya. “Besok aja ya, Sayang. Hari ini, kamu istirahat dulu biar bener-bener sembuh.”
“Aku udah sembuh, Ma. Lagian, Nakula bakal ikut buat jagain aku.”
Aku melirik gadis di sampingku ini. Satu-satunya hal yang tidak kusuka dari Rosa adalah sikapnya yang seenaknya sendiri, seperti sekarang.
“Tapi Nakula nggak bisa nyetir, dan Mama nggak mau kamu bawa mobil dulu. Kecuali, kamu mau disupirin Papa, baru Mama izinin.”
“Sebenernya, saya bisa bawa mobil, Tante.” Kuputuskan menginterupsi, mendahului Rosa yang mungkin akan mengajukan keberatannya atas usul Tante Kirana—usulnya juga yang membuatku angkat bicara, karena aku tidak mau Om Bima menyupiri kami. Bisa-bisa canggung selama perjalanan, atau yang lebih buruk, pria itu akan mengikuti kami terus nanti.
Baik Tante Kirana maupun Rosa memandangku tak percaya. Aku pun menjelaskan, bahwa tahun lalu Bu Nur mengajariku menyetir mobil dan aku sudah memiliki SIM A.
Setelah memastikan kebenaran ucapanku, akhirnya Tante Kirana mengizinkan kami berdua jalan-jalan—asal tidak ke luar kota. Selesai meletakkan tas dan gitarku di kursi belakang, aku pun duduk di kursi supir.
Sembari menjalankan mobil, aku mengerling sekilas pada Rosa yang duduk di sampingku. “Gue mau balikin tas sama gitar, jadi kita ke rumah gue dulu. Cantik nggak keberatan, kan?”
Rosa mengangguk. “Toh rumahmu searah sama Mal Mentari, jadi sekalian aja.”
Seperti yang sudah-sudah, selama perjalanan, Rosa mengajakku mengobrol. Dia mencomot hal-hal random sebagai topik obrolan dan akan protes ketika responsku terkesan cuek—padahal aku tidak bermaksud begitu. Maksudku, sekarang sudah tidak lagi. Aku hanya tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan padanya.
“Eh, bukannya rumah itu kosong ya?”
Rosa menunjuk sebuah rumah yang berseberangan dengan rumahku. Ada sebuah sedan hitam yang terparkir di halamannya—pemandangan yang baru kulihat sejak rumah itu kosong, 12 tahun yang lalu.
Tiba-tiba saja aku teringat sahabatku saat masih kecil. Entah bagaimana keadaannya saat ini. Sampai sekarang, aku tidak pernah mendapatkan kabarnya, padahal dia berjanji akan mengabariku setibanya di Medan.
“Kayaknya, sekarang gue punya tetangga baru,” ucapku, kembali fokus pada jalanan lengang di depan.
🍎 🍏 🍎
Aku baru mau membuka gerbang, saat Rosa ikut turun dan menghampiriku. Dia menyodorkan ponselku yang sengaja kutinggalkan di dasbor mobilnya.
“Ada telepon buat kamu.”
Aku menerima ponsel itu, lalu memperhatikan sederet angka tak dikenal yang meneleponku. Setelah menimbang sejenak—apakah ini telepon iseng seperti yang biasa kuterima, atau memang panggilan penting—akhirnya kuputuskan untuk mengangkat panggilan dari orang itu.
“Ini bener Kak Nakula?” Terdengar suara merdu seorang cewek begitu panggilan tersambung.
“Ya, gue Nakula. Lo siapa?” tanyaku, penasaran dengan identitas penelepon ini. Jujur, aku merasa tak asing dengan suaranya.
“Jangan ditutup, Kak. Aku segera ke sana.” Setelahnya, hanya terdengar langkah kaki cepat di seberang sana.
Dari perkataannya, berarti orang itu ada di dekat sini. Aku pun celingukan, lalu pandanganku jatuh pada seorang gadis berbaju kuning berlengan panjang dan celana jin biru dongker panjang yang ke luar dari rumah di seberang jalan.
Semakin gadis itu mendekat, semakin jelas aku melihatnya. Dia memiliki wajah yang manis dengan kulit kuning langsat. Memiliki sepasang mata hitam sepertiku dan Rosa. Berpipi agak tembam, sementara rambutnya hitam panjang—entah seberapa panjang, dan apakah lurus atau bergelombang, aku tidak tahu karena tidak kelihatan.
Dari seberang jalan, gadis itu tersenyum padaku. Sejenak, perhatiannya teralih pada ponsel ber-casing kuning di tangannya—dan seketika, telepon diputus secara sepihak. Dia lalu menoleh ke kanan dan kiri sebelum menyeberang jalan.
Kini, gadis yang wajahnya familier buatku itu sudah berdiri di hadapanku.
“Akhirnya, aku bisa ketemu sama Kakak lagi,” ucapnya, masih dengan seulas senyum manis. “Tadi aku mampir, tapi ternyata Kakak lagi belajar kelompok. Jadi ya, kuputusin nunggu sambil bantu Mama dan Papa bersih-bersih rumah. Tapi, setelah nunggu lama, Kakak masih belum pulang juga. Awalnya, aku pengen telepon, tapi takut ganggu semisal nelepon Kakak pas masih kerja kelompok. Jadi, aku cuma ngirim chat, tapi sampai sekarang nggak dibales.”
“Sebentar!” Aku pun tersadar setelah hanya bisa bengong selama beberapa saat. “Dari siapa lo dapet nomor gue?” tanyaku, tidak sabar melontarkan pertanyaan lain yang mengganggu benakku saat ini.
“Tadi aku minta sama Bi Ayu.”
Nih cewek kenal sama Bi Ayu? Aku semakin penasaran dengan identitas gadis ini.
“Dan dikasih?” tanyaku, memastikan.
Dia mengangguk, lalu balik bertanya, “Kakak nggak ngenalin aku?”
Kini, aku bisa menanyakan pertanyaan itu. “Lo siapa sih sebenarnya?”
Wajahnya berubah muram, tetapi cepat tergantikan ketika sudut bibirnya terangkat. Kembali mengulas senyum manis. Gadis ini lalu mengulurkan tangan kanannya padaku. “Namaku Cahaya Rembulan, sahabatnya Kak Nakula dari sebelum sekolah sampai SD kelas I.”
Aku cuma melongo mendengarnya. “Ha?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Game: Demi Kebahagiaanmu
Fiksi RemajaBlurb: Berkat kejadian di masa lalu, Nakula hidup dalam dunia yang kelabu. Cowok itu menjadi pribadi yang dingin dan skeptis pada orang lain. Rosa, si murid baru yang menjadi teman sebangkunya, pun tidak luput dari sikap buruk cowok itu. Namun, a...