kecewa

32 7 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim,
Semoga suka yah dengan cerita aku
Happy reading

Temukan aku di tiktok @penyukamalam_
Temukan aku di Instagram @penyukamalam02

"Gue tahu peran kedua orang tua dalam hidup anak itu tidak akan bisa digantikan oleh siapapun. Tetapi ada gue kan dib, ngak adil rasanya ketika lo tertawa bersama gue, tetapi diam diam lo menyimpan semua derita yang lo alami tanpa cerita ke gue

Rafael Gabriel Alexander


"Selamat pagi semua" Adiba menarik kursi, menatap kedua orang tuanya dan kakanya.

"Pagi" balas ghifari memeluk adiknya, karena ia duduk bersebelahan dengan Adiba.

Adiba menjulurkan tangannya mengambil sendok nasi, niat hati ingin mengambil lauk pauk untuk ayahnya. Tetapi niat baiknya itu dibalas dengan tatapan tajam dari sang ayah.

"Duduk, saya bisa mengambilnya sendiri" tegas Hasyim, ia menatap nyalang putri semata wayangnya itu.

Adiba menurut duduk, menundukkan kepala. Ia tahu mungkin ayahnya akan memarahi dirinya lagi, cuman itukan yang bisa ia lakukan.

"Kamu balapan lagi kan? Anak macan apa kamu ini? Anak tidak tahu diri, kamu ini anak perempuan Adiba!! Ingat kamu adalah anak konglomerat dan bukan dari sembarang keluarga!!" Hasyim begitu murka, bahkan telinga dari pria paruh baya itu sudah kemerah merahan, sorot mata tajam darinya tidak lepas dari adiba yang hanya setia menunduk.

"Pengen kasih sayang tetapi tidak tahu menghormati orang tua, cih" sindirnya lagi.

Tangan berurat milik Ghifari sudah mengepal kuat hingga urat ke biru biruan menonjol di kedua tangannya. Menyadari hal itu Adiba menggenggam lembut tangan sang Kaka.

"Dan kamu juga ghifari. Seharusnya kamu tidak memanjakan dia seperti ini" protes Hasyim melupakan bahwa waktunya untuk sarapan pagi.

Sudah cukup, Adiba tak tahan kakanya disalahkan atas kelakuan yang ia lakukan.

"Ayah cukup!!" Ucap wanita yang mengenakan pakaian cukup terbuka hari ini suaranya menggema di ruang makan rumah mewah tersebut. Membuat Hasyim terdiam.

"Ayah, sebelum menyalahkan kami seharusnya tanyakan dulu ke diri ayah. Aku seperti ini karena ayah dan ibu" hardik adiba dengan mata berkaca-kaca. Berdiri dari duduknya.

"Tanyakan ke diri kalian sebagai kedua orang tua. Kemana tanggung jawab kalian untuk anaknya, mendidik, menjaga, melindungi, memberikan kenyamanan, ketenangan kemana semua itu ayah tidak ada kan?" Adiba tertawa sumbang, menyeka air mata secara kasar.

"Ayah gagal, yang ayah cuma kasih hanya uang uang dan uang. Apakah pernah ayah menjenguk aku ketika aku dirumah sakit? Jangankan itu ayah menanyakan keadaan aku saja tidak pernah. Bagaimana keadaan kamu nak? Bagaimana hari hari kamu?" Adiba berceloteh panjang lebar air mata terus saja membanjiri pipinya. Sesak itulah yang Adiba rasakan.

Adiba kembali menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya. Menatap silih berganti kedua orang tuanya, air mata terus berlinang dari matanya.

"Kata ayah aku tidak menghormati mu. Lalu apa semua ini ayah. Aku ingin memberikan lauk pauk ke ayah tapi di tolak. Aku memberi kabar kepada ayah bahwasanya satu bulan lagi aku wisuda tetapi respon ayah hanya wajah datar" Adiba menarik kunci motornya meninggalkan ruang makan, dengan air mata terus keluar tanpa diminta.

"PUAS KALIAN HA?" ghifari menggeprak meja membuat kedua orangtuanya terkaget. Sorot mata tajam itu tidak kalah dari ayahnya.

"Ghifari, jaga nada bicara kamu. Kami orang tuamu" ucap Wulan kesulut emosi, setelah berusaha untuk tidak meluapkan amarahnya, ia pun berdiri menyeimbangi sang putra.

The first and last love  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang