Perindu Surga

21 4 0
                                    


Bismillahirrahmanirrahim,
Semoga suka yah dengan cerita aku
Happy reading

Maukah kamu membimbing saya menjadi wanita perindu surga dan dirindukan surga. Maksudnya memberiku jalan untuk berhijrah mengenal pencipta dari segala ciptaan yaitu Allah

Adiba Afsheen Meysha Al Fariz


Acara tabligh Akbar yang diselenggarakan pukul satu siang kini akan berakhir setelah usai sholat magrib. Dan sekarang jarum jam mengetuk angka 18.00 itu berarti acara akan menjemput penghujung.

Pemuda satelan jas hitam di padukan kaos putih dan sarung batik putih sebagai bawahan, berpamitan kepada pemilik acara ini yaitu Abah Ismail, pemilik pondok pesantren as-syam.

"afwan Abah, akhtar pamit undur diri lebih dulu, terima kasih atas jamuan dan acara yang begitu MasyaAllah, semoga acara ini dapat membawa kita berkumpul bersama di Jannahnya Allah kelak" jelas akhtar menggenggam tangan Abah Ismail untuk menyalimi pria paruh baya, selaku teman masa kecil Abahnya.

"Aamiin" balas Abah Ismail dan putri semata wayangnya.

Mendengar suara wanita begitu familiar di pendengaran telinga, membuat akhtar melirik sekilas dan kembali menunduk.

"Gus akhtar, ngak nunggu acara sampai akhir. Keluarga Gus juga masih disini" ucap wanita bererbalut pakaian abaya serba hitam, ia menatap akhtar berharap pemuda di depannya mengubah keputusan.

"Maaf Ning hilya, maaf saya ada keperluan mendesak di cafe cabang baru" jelas akhtar membuat Ning hilya merosotkan kedua bahu, tetapi itu tidak berlangsung lama setelah ide cemerlang muncul secara tiba-tiba di dalam pikirannya.

"Kalau begitu aku ikut yah, Gus. Boleh kan?"

Ning hilya begitu antusias, sehingga genggaman tangan erat dapat dirasakan membuat nyalinya menciut dan dapat pula ia rasakan tatapan menghunus dari abahnya

"Hilya" terdengar nada ketegasan dari pria paruh baya itu.

"Tapi Abah" lirih Ning hilya menunduk, memilin ujung jilbab berwarna coksu yang ia kenakan.

Mendengar pertengkaran ayah dan anak membuat akhtar hanya bisa bernafas pasrah, rasa bersalah menggerogoti hati Akhtar, ia hanya bisa terdiam tanpa berani membuka kedua bibir. Ia takut akan menyinggung perasaan kedua insan tersebut.

"Nak, pergilah. Makasih telah meluangkan waktunya, ah iya soal perkataan anak saya jangan di anggap serius" Abah Ismail merasa sungkan, ia menepuk pundak akhtar membuat akhtar mendongakkan kepala.

"Ah iya Abah, makasih. Cafe al-rumi akan selalu terbuka untuk anda, tetapi untuk permintaan anda maaf aku tidak bisa. Assalamualaikum" senyum tipis terlukis di wajahnya sebelum melangkahkan kaki meninggalkan pondok pesantren as Syam.

Untunglah ia telah selesai berpamitan dengan kedua orang tuanya terlebih dahulu, kalau tidak begitu akan mustahil akhtar untuk lebih cepat keluar dari pesantren as-syam mengingat begitu banyak tamu dari para santri dari pesantren lain begitupun pimpinan pesantren.

Akhtar menyalakan mobil sport BMW hitam miliknya membelah jalanan yang begitu padat mengingat sekarang adalah jam pulang kantor maupun anak sekolah yang mendapatkan tambahan pembelajaran.

Sayup sayup terdengar lantunan azan magrib dari mesjid, membuat akhtar menepikan mobil, bergegas melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim.

20 menit berlalu akhtar kembali menjalankan mobil, usai mengimami shalat Maghrib, karena salah satu dari imam mesjid mengenal akhtar sehingga ia mengambil keputusan untuk mengajukan akhtar sebagai imam sholat magrib.

The first and last love  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang