12. Kelam rumah

424 72 8
                                    

Semesta mendukung keutuhan rumahnya, namun belum mau berhenti memberi akses untuk lara menghujam. Air mata masih mengalir bebas tanpa syarat, tak terima kelopak yang hendak menghalangi. Senyum enggan terbit, selagi sedih masih menggelora.

Di tangannya sebuah lembaran kertas putih. Membaca deretan tulisan yang tercetak rapi, menyuratkan sebuah perintah berat. Maya kembali tersungkur mengetahui nama lengkap Helmi tertoreh sebagai tersangka kasus penganiayaan.

Kening terasa pening, dengan banyak bisikan yang mulai datang memberatkan kepala. Dialihkannya atensi ke arah Helmi yang tengah duduk diam dengan menopangkan dua siku ke atas paha, kepala tertunduk menyembunyikan kondisi ekspresi.

"Papa tahu niat kamu baik dan Papa ngerti kamu marah gak terima ...." Dan itu papanya yang juga duduk dengan menyandarkan punggung, lesu.

"Kalau Papa jadi kamu, mungkin saja Papa bakal ngelakuin hal yang sama. Gak peduli mau masuk penjara atau bahkan mati."

Seketika Maya memindahkan perhatian ke arah Bayu.

"Tapi sekarang ini ... kamu yang ngelakuin, Nak. Dan Papa sebagai orang tua, mana bisa ngeliat anaknya masuk penjara."

Masalah tak akan timbul jika tidak ada penyebab. Sekarang celah kembali terbuka lebar untuk Maya menghakimi dirinya sendiri ... lagi. Dia terlalu payah untuk mempertahankan diri dari keterpurukan, tak kunjung mau bangkit dan tak berani keluar dari kegelapan.

Payah. Ya, itulah isi benaknya berkata.

Helmi tak pernah kurang dalam memberikan kasih sayang. Maya menyesali, kenapa masih tak juga mau merasa cukup dengan semua itu dan terus-terusan mempertahankan sakit.

Lemah, May.

"Sebelum kamu ke kantor polisi. Besok Papa bakal berusaha untuk menemui orang tua anak itu."

Sontak pernyataan itu membuat keduanya memindahkan perhatian ke arah Bayu. Terkhusus Helmi yang nampak terkejut.

"Buat apa?"

"Mungkin bakal gak mudah tapi Papa mau minta maaf biar tuntutannya dicabut."

Helmi menggeleng pelan. Sejak tadi pemuda itu berusaha untuk meredam dirinya agar tetap diam, tak peduli mata yang sudah panas hingga rongganya memerah.

"Gak usah!" Dan kini diamnya gagal. Emosi kembali mencuat hingga air mata berhasil mengalir. "Helmi mending dipenjara daripada minta maaf sama penjahat."

"Gak ada yang namanya penjahat, Helmi. Kita saja yang masih belum tahan dengan cacian. Biar bagaimanapun kita gak bisa kendaliin mulut orang."

"Helmi bisa. Apa pun bakal Helmi lakuin untuk menutup mulut orang yang udah ngatain adek Helmi."

Helmi bukan orang yang memiliki kesabaran yang luas. Dia bukan orang kuat. Dia hanya orang yang berusaha berhati-hati dengan membawa segudang emosi masa lalu.

"Terserah. Papa bakal tetep minta maaf, karena Papa gak mau anak Papa dipenjara."

Terus terang Helmi tersentuh untuk beberapa saat. Dia juga tidak mau dihukum atas perbuatan yang menurutnya tak salah. Tapi dia tidak memiliki pilihan lain.

Meminta maaf? Oh, yang benar saja.

"Kalau Papa minta maaf, itu sama aja Papa merendahkan diri di depan orang yang udah ngancurin kehidupan di rumah ini. Helmi gak mau."

"Ini sudah beda. Orang yang kamu maksud itu udah dipenjara sejak dua tahun yang lalu dan itu udah selesai."

"Bagi Helmi belum, Pa! Orang yang ngerendahin Maya gak ada bedanya sama si Dendi bajingan itu!"

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang