17. Ingin menjadi tempat yang nyaman

184 29 4
                                    

Berpindah tempat ke suasana baru memang bukan satu-satunya jalan keluar untuk bisa memperbaiki jiwa yang rapuh. Namun manusia memiliki usaha yang terbatas dan tidak setiap waktu dihabiskan hanya untuk mencari pelarian agar tenang sehingga yang terpikirkan hanya menepi sejenak ke situasi lain.

Masa berjalan tak cepat dan tak lambat, tergantung bagaimana seseorang menikmatinya. Bersama orang-orang baru akhirnya Maya bisa membentuk lagi kepribadiannya yang telah cukup lama kacau-balau. Tidak ada mereka yang menarik lagi rekam jejak yang bisa mendatangkan kecemasan. Yang ada justru basa-basi yang selalu mengundang tawa.

Situasi di Jakarta pun juga dapat Maya pantau secara berkala. Sesekali saat mamanya berkunjung ke penjara, dia meminta untuk melakukan panggilan video agar bisa bertanya kabar dengan Helmi.

Tak hanya itu, dengan Pandu juga menjadi lebih rutin saling berkomunikasi. Tawa mengalir seperti dulu. Sedetik saja sendu menghampiri, dengan cepat mereka berpaling ke topik lain yang lebih seru.

Maya mengerti sekarang. Rasa takut bukan untuk dihindari, melainkan dirasakan dan dilawan. Cukup susah dia membuka pintu hati agar hatinya tidak kesepian. Dia takut jika pintu itu terbuka, yang masuk hanyalah luka. Sampai akhirnya dia menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang pilihan yang memiliki banyak kasih sayang. Tidak akan mungkin orang-orang itu akan memberinya luka. Pandu salah satunya.

Setiap hari, Maya tak hanya mendapatkan dukungan dari keluarga saja tapi juga dari Pandu. Pemuda itu selalu memberikan pesan sebelum tidur, pagi hari dan setelah pulang sekolah. Isi pesannya berbeda, tapi maknanya sama.

Dari berbagai kalimat indah yang Maya dapatkan dari orang-orang tercinta, waktu menjadi berjalan sedikit lebih cepat. Tak terasa kini dia sudah lulus dari SMA. Seluruh keluarganya yang ada di Jakarta datang ke Solo termasuk Saka yang rela mengajukan cuti demi menghadiri acara perpisahan sekolah.

Mungkin terlihat sangat sepele. Tidak bisa semua orang mampu untuk meluangkan waktu. Namun hal sepele itu bisa menjadi sebuah momen bermakna untuk menjadi obat bagi yang pernah dirundung kepedihan. Maya tidak pernah memaksa, tapi orang tua dan saudaranya memilih untuk berusaha datang karena kasih sayang yang mendorong mereka.

"Kemarin Maya ikut seleksi bersama masuk PTN dan Maya keterima di Solo. Gak papa, kan?"

"Gak papa, dong. Terserah Maya mau kuliah di mana, Papa cuma bisa dukung."

"Berarti yang mudik Maya atau Papa sekarang?"

"Kalau itu dua-duanya bisa. Maya pas libur semester, bisa pulang ke Jakarta. Yang jelas kalau Papa cuma bisa mudik ke Solo waktu lebaran aja atau akhir tahun."

"Hehe, iya."

Tak ada acara lain setelah pulang dari acara perpisahan kecuali Saka yang tiba-tiba diajak memancing oleh salah satu sepupu. Maya pun langsung pergi ke kamar untuk berganti pakaian dan membersihkan riasan wajah, meninggalkan orang tuanya yang memilih sibuk dengan orang tua juga.

Setelah membersihkan diri, Maya meraih ponsel dan berniat untuk merebahkan diri di atas kasur. Namun sempat terjeda oleh panggilan papanya dari luar kamar.

"Sayang, ada paket buat kamu."

Maya mengernyit sebelum akhirnya keluar dari kamar. Perasaan dia tidak check out apa pun.

"Paket apa?"

Bayu menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang yang masih rapi dibungkus dengan bubble wrap berwarna hitam. "Gak tahu. Tapi pengirimnya Pandu."

"Ha?" Matanya terbelalak sembari membaca lagi nama pengirim yang tertera di atas kotak tersebut. Maya tidak mengenal Pandu lain kecuali Pandu Eka Darmawangsa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang