8. Hancur lagi

459 69 4
                                    

Setiap harinya Maya selalu berusaha menjaga suasana hati agar tidak mengganggu kegiatan belajarnya. Melindungi benak dari bayangan kelam yang selalu mencoba mengacaukan ketenangan. Kendati tak lagi berbaur dengan banyak teman seperti dulu, dia bisa menyibukkan diri di dalam kelas dengan berbagai hal, salah satunya adalah belajar.

Ya, belajar. Dulu Maya tidak suka belajar. Belajar itu melelahkan. Akan tetapi sekarang dia sering belajar sewaktu jam istirahat. Tidak sering ke kantin, sebab bergabung dengan banyak orang membuatnya gelisah. Urusan perut, sang mama sudah membawakannya bekal lengkap sehingga tidak khawatir kelaparan.

Tak hanya belajar, sering kali dia membaca buku yang dibawa dari rumah, menonton film atau bahkan tertidur. Kepribadian yang dulu ceria, kini menjadi lebih pendiam karena dia tidak mau menerima resiko jika benaknya terganggu. Maya sudah banyak mengurangi mobilitas demi menenangkan keributan di dalam diri.

Dua tahun berjalan cukup berat hingga dia bisa terbiasa. Terbiasa dengan situasi dan perubahan. Akan tetapi di tengah dia membentengi diri, tentu ada hal yang membuatnya merasa muak.

Pertama Pandu. Dua tahun tak pernah mencoba berhenti untuk mengikis jarak. Namun sebenarnya Pandu tidak salah, justru dirinya-lah yang membuat kerumitan terjadi sehingga rasa muak timbul untuk si pemuda.

Dan yang kedua adalah, Baron. Kalau untuk yang satu ini Maya benar-benar sudah muak. Sudah berkali-kali Maya menolak ajakan Baron entah itu mengajaknya makan, mengajaknya pulang bersama atau hanya sekadar ngobrol di kelas, namun pemuda itu terus saja melakukan ajakan itu tanpa lelah bahkan tak jarang sampai memaksa.

Baik?

Tentu, jika itu bagi gadis yang terobsesi pada Baron. Tapi untuk Maya, kebaikan itu hanya sebuah pencitraan. Baron terlihat lebih kasar.

"Maya!"

Dan hari ini, lagi-lagi Maya harus menghadapi pemuda itu setelah bel pulang sekolah. Dia terus berjalan menuju pintu gerbang yang melewati halaman sekolah tanpa menggubris panggilan Baron.

"May!"

Namun tak akan lengkap untuk pemuda itu jika belum mencekal pergelangan tangan Maya. Tepat di halaman sekolah dan dilihat banyak orang-orang, Baron menghentikan langkah Maya.

"Apa sih!"

Kali ini cengkramannya sedikit lebih kencang dibandingkan kemarin hingga Maya tidak bisa melepaskannya dalam sekali hentak.

"Sekali aja lo mau nerima ajakan gue. Apa susahnya, sih? Orang gue juga gak bakalan maksa lo buat jadi pacar gue."

"Kenapa harus gue? Kan, ada cewek lain yang lebih mau sama lo."

"Ya kan, gue pilih lo. Gue gak mau sama cewek lain."

Maya kian menusukkan kilatan tajam dari sorotannya, isyarat memberi gertakan. Kemudian dia menepis tangan Baron sebelum akhirnya kembali berbalik dan hendak mengambil langkah menuju gerbang sekolah. Tepat saat itu juga, manik melihat sosok Pandu yang sudah berdiri di depan sana seolah ingin menyambutnya.

Kini, entah kenapa Maya seperti dikekang. Ingin berlari ke arah sang kekasih, namun sisi gelap itu seolah menahannya. Tetap berhenti, di belakang ada orang asing yang berusaha mengejar. Ingin pulang ... Helmi di mana? Katanya bakal terus menjemput.

"Gak usah jual mahal, May."

Lamunan yang sangat singkat tadi tiba-tiba berhenti ketika Baron kembali menginterupsi. Maya pun berhasil dibuat berbalik untuk memastikan kalimat apa tadi.

"Maksud lo?"

"Gak usah sok jual mahal."

Kening berkerut bertingkah seperti tak paham, namun di dalam batin emosi mulai bergejolak.

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang