6. Laki-laki kesayangan Maya

452 65 9
                                    

Bisa dibilang hari ini adalah pertama kali Pandu pulang dengan keadaan yang sumringah. Sejak keluar dari halaman rumah Maya hingga tiba di kediamannya sendiri, senyum masih lestari di bibir. Harapan menimbulkan bayangan candu terus berputar di dalam benak, membiarkan kesadaran melanglang buana hingga membuat orang di sekitarnya melayangkan keheranan.

"Ngapain senyum-senyum sendiri? Kaya orang gila," ujar orang itu dengan mulut penuh dengan nasi.

Pandu mendudukan diri di samping orang tersebut lantas menyandarkan punggung. Sorotan menerawang ke depan, dengan tak melunturkan ukiran bibir sedikit pun.

"Heh!"

Tidak berefek sama sekali, pemuda itu justru semakin melebarkan senyumnya lalu menoleh.

"Gue seneng, Mas."

Orang itu—Panji, lanjut mengunyah dengan masih terpaku heran. "Seneng kenapa?"

"Ya seneng aja." Kembali Pandu memindahkan perhatian ke depan. Napas berembus panjang seolah baru menyelesaikan satu perjuangan yang begitu melelahkan.

"Seneng banget."

"Gak jelas."

Beri Pandu waktu sebentar untuk menikmati kegembiraannya itu. Dia harus mengumpulkan berbagai kata untuk menjelaskan situasi hatinya sekarang.

Mungkin tak seberapa dan entah benar-benar bisa diharapkan atau tidak, namun yang jelas dua kata yang terucap dari bibir Maya benar-benar membuat Pandu seolah kembali tegak untuk berdiri. Dua kata belum siap. Itu jauh lebih bisa diharapkan daripada tidak siap, kan?

Yang Pandu harus lakukan adalah memperluas kesabarannya untuk terus menunggu.

"Mas Panji."

"Hm."

"Kalau misal nanti gue ngeduluin lo nikah, gak papa, kan?"

Mendengar itu, dengan cepat Panji menoleh. Mata melebar, tercengang. "Lo mau nikah? Cepet amat? Masih bocil juga."

"Cuma misalnya." Pandu turut menoleh.

"Emang udah punya?"

"Udah, dong."

"Kaya gak pernah bawa cewek lo."

Pandu tersenyum bangga. Terus terang, terlalu percaya diri itu tidaklah baik. Akan tetapi, kembali lagi kepada keyakinan pemuda tersebut yang begitu besar untuk bisa membuka pintu hati sang pujaan hati. Apapun yang diinginkannya, pasti diutarakan dengan berani seolah itu akan benar-benar terjadi.

"Dulu sering, kok."

"Hah, siapa?"

"Entar juga lo tahu."

"Emang ayah ngijinin lo nikah dulu?"

"Engga, sih. Katanya gak boleh ngelangkahin lo."

"Terus kenapa mau nikah?"

"Ya emang kenapa? Jodoh gue udah ada."

Panji kian melenggong. Gerakan rahangnya mengunyah nasi memelan bersama kerutan dahi yang perlahan timbul.

"Dih, kayak tahu aja jodoh lo siapa. Mending belajar yang rajin dulu, deh."

"Lo gak mau gue duluin, kan? Cepetan kawin kalo gak mau."

"Heh, umur gue baru 22. Gue gak buru-buru kalau masalah kawin. Lagian nikah butuh modal dan persiapan matang, bukan cuma cinta-cintaan."

"Modal doang gampang. Tinggal ambil alih satu cabangnya ayah yang di Cengkareng. Gue, mah, gak papa jadi tukang mi ayam aja."

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang