3. Orang serius harus yakin

466 82 16
                                    

Terus terang, Pandu tidak kekurangan apapun. Meskipun hanya berlabel anak dari penjual mi ayam, tapi dia kaya. Dia tidak pernah kekurangan uang. Usaha ayahnya begitu terkenal di berbagai kota besar sehingga tidak pernah dia kesusahan perihal finansial. Kelak jika sudah lulus, dia tidak perlu khawatir dengan tidak adanya pekerjaan.

Pandu juga bisa kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup populer di Jakarta. Dia tidak cemas tentang pendidikan. Di kampus pun, temannya banyak dan semua baik. Hidupnya terlihat enak dan sempurna, seperti tidak ada beban.

Satu-satunya hal yang membuatnya muram hanyalah tentang seseorang, yang mana terus-menerus menolaknya. Sekali lagi dia pulang dengan tanpa gabar gembira dan berakhir merebahkan diri di atas sofa yang ada di dalam ruang keluarga. Benak tak pernah berhenti untuk memikirkan bagaimana cara meyakinkan jiwa yang ragu akan keseriusannya.

Dia paham apa yang dirasakan Maya dan yang ingin dijalaninya. Namun apakah gadis itu akan terus terkurung di dalam ketakutan?

"Loh, udah pulang. Ayah kira sampe malam." Kemudian sang ayah datang sambil membawa secangkir kopi lalu duduk di sofa kosong, membuat Pandu seketika mendudukkan diri lagi.

"Enggak, Yah. Ayah juga, kok, udah pulang jam segini?"

"Tadi ada tamu penting. Mau balik lagi udah capek. Ya wes, biarin digantiin si Danu."

Orang tuanya sudah hafal jika Pandu sering sekali pergi ke rumah Bayu untuk main, karena memang sejak kecil dia dan Helmi sudah berteman dekat. Akan tetapi untuk perihal rasa dan Maya, terus terang Pandu masih belum terbuka dengan orang tuanya. Mereka masih menganggap jika Pandu hanya sekadar dianggap kakak untuk Maya.

Berpikir lagi beberapa saat. Salah satu hal yang penting dari sebuah rumah adalah keamanan. Jika Pandu ingin membuat rumah, maka dia harus memastikan bahwa setiap sudut rumah bisa melindungi penghuninya.

Jangka pikirnya terlalu panjang, kedati yang masa kini belum didapat. Dia ingin menggapai sebuah berlian yang berharga dan untuk menjaga berlian itu, Pandu harus mempersiapkan tempatnya dulu, kan?

Ya, rumah yang aman.

Dilihatnya kini sang ayah yang sudah sibuk dengan ponsel.

"Yah?"

"Hm."

"Pandu mau ngomong tapi Ayah jangan marah, ya?"

Mendengar kalimat Pandu, Agung pun seketika mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

"Ngomong opo?" Kening berkerut curiga. Wajar saja, karena kalimat Pandu memang mengundang kecurigaan.

Pemuda itu sedikit membasahi bibirnya karena gugup. Dia pasti mengejutkan sang ayah.

"Cuma tanya pendapat ayah aja, sih."

"Pendapat opo?"

"Kalau misal, nih ... Pandu mau nikah cepet, gimana?"

Seperti apa yang dia bayangkan tadi, respon ayahnya itu kian menunjukkan kecurigaan.

"Kok, tiba-tiba nanya gitu?"

"Ayah jangan mikirin yang macem-macem dulu. Pandu cuma nanya aja."

"Bener? Awas kamu kalo sampe berbuat yang ndak-ndak."

"Beneran enggak, Yah."

Pandu anak baik-baik, sulit dipercaya jika akan melakukan hal yang di luar batas. Dilihatnya tatapan Agung tak lagi mengintimidasi, ayahnya itu justru menyandar punggung ke sandaran sofa setelah menyeruput kopi.

"Emang kamu mau nikahin siapa? Kok, mau nikah cepet? Setahu Ayah, kamu ndak punya pacar."

"Pandu emang gak ada pacar. Tapi ada seseorang yang mau Pandu seriusin."

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang