7. Dengan bertahan

428 71 8
                                    

Hari berikutnya yang masih dipenuhi dengan sisa semangat akibat kemarin. Diam-diam, Pandu pergi ke sekolah Maya lebih awal mendahului Helmi untuk menjemput gadis tersebut. Atau dalam kata lain, mencuri start. Kebetulan hari ini jadwal kuliahnya hanya sampai siang.

Kendati Pandu tahu Maya tidak akan mau, keras kepalanya membuat dia tidak mempedulikan itu semua dengan dorongan keyakinan dan kepercayaan diri. Dia melihat harapan pintu terbuka seperti pintu gerbang sekolah di sana yang terbuka sangat lebar.

Dari seberang jalan, Pandu memperhatikan para siswa yang sudah mulai keluar dari area sekolah. Tak menghiraukan panas matahari yang masih menyengat dan juga tak peduli debu-debu beterbangan akibat dari kendaraan yang lalu-lalang. Matanya hampir tidak berkedip demi menanti munculnya sang gadis di pintu gerbang.

Begitu terlihat sosok Maya di sana, bibir otomatis mengembang sempurna bersama mata berbinar. Akhirnya ....

Akan tetapi senyum dan binar itu tak bertahan lama setelah melihat ada seorang pemuda yang berjalan mengekori Maya. Terlihat pemuda itu seperti ingin berbicara, namun Maya enggan dan berkali-kali tangannya menepis pegangan dari sang pemuda.

Pandu bergegas turun dari motor, lalu melangkah menyeberangi jalan.

"Gue bilang gak mau, ya gak mau!"

"Kok, lo susah banget sih, May?"

"Lo aja yang suka maksa!"

"Cuma makan bentar. Tadi gue liat lo gak bawa bekel, kan? Lo juga gak ke kantin."

"Terus apa urusannya buat lo?"

"Ya gue ... pengen ngajak lo makan doang."

"Gak perlu. Gue bisa makan di rumah."

"May ...."

Terdengar percakapan antara mereka berdua membuat Pandu mempercepat langkahnya dan langsung menepis tangan pemuda tersebut saat mencoba menahan tangan Maya.

Keduanya sama-sama kaget akan kedatangan Pandu yang tak terduga. Sorotannya seketika menajam, mengarah pada si pemuda.

"Lo siapa?"

Pandu mungkin mempunyai percaya diri yang besar. Dia bisa saja mengatakan secara frontal bahwa dirinya adalah kekasih Maya. Akan tetapi, di depan Maya sendiri dia tidak mungkin melakukannya. Biar bagaimanapun dia masih menghargai keputusan gadis itu dua tahun yang lalu untuk menjaga jarak dengannya.

"Gue abangnya. Yang harusnya nanya itu gue. Lo siapa? Ngapain lo gangguin Maya?"

Pemuda tersebut menatap Pandu mengernyit curiga. Sejenak dia mengalihkan perhatian pada Maya untuk mempertanyakannya, namun gadis itu justru berpaling.

"Perasaan bukan lo abangnya."

"Gue abangnya yang lain. Maya punya banyak abang asal lo tahu."

Masih dengan sorotan tak percaya, pemuda tersebut akhirnya pergi. Namun tidak benar-benar pergi, melainkan masih mengawasi Maya dan juga Pandu dari kejauhan.

"Ayo pulang?"

"Mana Bang Helmi? Kok, Kak Pandu yang jemput?"

"Helmi tidur paling. Aku sengaja mau jemput kamu. Ayo?"

Maya mendengus, lalu melangkah menuju pintu gerbang sekolah dan mendudukkan diri di trotoar jalan.

"Motor aku di sebrang jalan, May."

Pandu sudah menduga karena teringat dengan kata Helmi kemarin. Maya mengeluarkan ponsel dan terlihat membuka aplikasi ojol. Segera mungkin dia menyerobot ponsel sang gadis lalu dimasukkannya ke dalam saku jaket.

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang