5. Kunci harapan

436 69 12
                                    

Ruangan yang biasa terisi dengan suara ketikan dari keyboard laptop atau goresan pensil di atas kertas, kini hanya ada suara jarum jam yang berdetak. Menemani seseorang yang hanya diam sambil memegangi kepala dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja.

Sunyi, terlihat tak ada yang terjadi. Akan tetapi ketika denyutan keras yang mendadak terasa memecah kepala, kesunyian Bayu berubah menjadi masalah.

Sakit kepala biasa terjadi padanya meskipun sudah bebas dari penyakitnya yang dulu. Dia sering meredakannya dengan obat pereda sakit dari apotek agar tidak menggangu pekerjaan dan itu selalu bereaksi. Namun kali ini dia kembali diterjang sakit yang sama luar biasanya di bagian kepala. Sudah minum obat, namun tak membuat denyutan itu tenang. Saking sakitnya, beberapa kali dia membenturkan kepala ke atas meja.

"Ya Allah, kenapa lagi ini?" rintihnya.

Dengan berusaha menahan kepala yang menjadi terasa berat dan pandangan mulai mengabur, dia merogoh ponselnya di saku celana lantas menghubungi seseorang yang mungkin bisa membantunya saat ini.

"Halo, Rul."

"Kenapa?"

"Lo di mana?" Nada sedikit bergetar sebab tubuh sudah sepenuhnya ikut dihujam lara.

"Di ruangan. Kenapa?"

"Bantu gue bentar. Kepala gue sakit."

"Hah?

Tangan refleks mencengkeram rambutnya sendiri kala nyeri kembali menerjang hebat.

"Sakit banget."

"Bay ... Bay, tunggu, Bay! Gue ke sana sekarang."

Tidak ada lagi yang bisa Bayu lakukan selain menunggu Irul menghampirinya. Bahkan untuk bergumam mengakhiri pembicaraan saja, dikalahkan oleh rintihan sakit sehingga membuat sahabatnya itu segera memutus sambungan telpon.

Bayu merasa sudah merubah berbagai hal di hidupnya. Seperti pola makan, mengurangi rokok, mengurangi konsumsi yang berat-berat, menerapkan program diet dan olahraga, meskipun tidak begitu berubah pada pola tidur dan kopi. Sehingga sakit tak mungkin datang lagi.

Namun denyutan terasa tidak hanya di satu titik, seakan ada orang-orang yang memukuli kepalanya dari berbagai sisi. Kini dua kali lipat lebih sakit dari yang dulu kala sampai membuatnya tak bisa melakukan apapun.

Tubuh seperti tidak bisa merasakan lagi, lemas. Bayu memilih untuk menjatuhkan kening ke atas meja, membiarkan lara menguasai kesadarannya.

"Bayu!"

Tenang, Bayu masih mendengar suara Irul yang baru datang. Akan tetapi dia sudah tidak lagi mampu merespon. Hanya rintihan yang keluar dari mulutnya sebelum kesadaran benar-benar lenyap oleh terjangan nyeri yang bertubi-tubi.

__°°__


Maya berjalan menghampiri rumah sambil menghentakkan kakinya setelah turun dari motor Helmi. Pandu yang melihat itu segera mengejar gadis tersebut sebelum dia masuk ke dalam rumah.

"Tunggu, dong, May." Pandu menahan tangan Maya saat hendak memegang handle pintu.

"Kak Pandu udah, dong!" Seketika Maya menepis pegang tangan Pandu dengan sekali hentak. Tatapan tajam menerjang sorotan pemuda tersebut yang terlihat sendu.

"Aku gak bakal bosan minta sama kamu buat ngobrol sebentar aja. Bentar aja, May."

Pandu memang tak bosan, tapi Maya yang bosan. Dia jengah, lebih tepatnya pada diri sendiri. Pandangan yang menajam tadi perlahan melunak dan itu selalu saja terjadi tiap kali bersitatap dengan sang pangeran.

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang