2. Mempertahankan senyum

516 82 6
                                    

Tak ada yang lebih membanggakan dibandingkan melihat seorang anak bisa meraih keberhasilan atas usaha yang sudah dilakukannya. Jatuh bangun yang dilalui, membuat hal sepele seperti perpindahan tali toga dari kiri ke kanan menjadi sebuah penghargaan yang tidak ada tanding.

Setitik air mata mengalir ketika nama lengkap putra sulungnya dipanggil dan manik melihat pemuda itu berjalan menuju ke atas panggung dengan penuh percaya diri.

Entah sudah berapa tembok yang dibangun untuk pertahanan atas kelemahan, senyum Saka benar-benar lebar seolah tak memiliki kekurangan apapun. Bahkan Bayu bisa melihat senyum tersebut mengarah padanya untuk beberapa saat.

Dari kejauhan, Bayu tak melepas pandangan dari satu titik. Dalam diam, dada rasanya ingin meletup saking bahagia dan bangga yang bergelora. Air mata kembali turun demi melampiaskan haru yang bersarang. Satu persatu memori terputar seolah ingin mengingatnya akan sebuah perjalanan yang sangat melelahkan untuk bisa mencapai titik sekarang.

"Anak Papa kuat banget." Dan itulah yang terucap pelan saat Saka menunjukkan ijazah padanya dari kejauhan.

Bayu harus berdamai, Bayu harus memikirkan detik ini saja agar tidak terus-menerus larut dalam masa lalu yang selalu membuatnya merasa bersalah. Bahagia sudah mengelilinginya meski harus terbiasa dengan kata kurang di tengah kelengkapan dan keutuhan.

Kini, mata terpejam sejenak, menikmati desiran yang menjalar akibat suasana yang begitu menyenangkan. Menghirup udara sekitar yang penuh dengan kebahagiaan serta kebanggaan para orang tua. Sungguh, Bayu tidak bisa menjelaskan lagi bagaimana rasa yang terus bergejolak. Dia hanya melampiaskannya pada senyum serta air mata yang mengalir.

Setelah acara selesai dan seluruh wisudawan sudah diperbolehkan keluar dari gedung, Bayu dan Saka akhirnya kembali menghampiri yang lain di area halaman gedung. Ada Tania, Maya dan si kecil Azka yang tengah berteduh di bawah pohon rindang.

Saka bergegas memeluk mamanya, membagi rasa bahagia yang diperoleh dari dalam gedung. Kemudian berganti Maya lalu terakhir menggendong si bungsu yang terlihat antusias.

"Saka gak ikut foto sama itu, temen-temennya?" tanya Tania sambil menunjuk gerombolan wisudawan yang tengah berfoto.

"Enggak. Semua temen Saka, kan, udah pada lulus tahun kemarin."

"Foto berlima aja berarti."

"Gak perlu sekarang, Ma. Saka maunya berenam, biar lengkap."

"Terus sekarang gak ngapa-ngapain, dong?"

"Pulang aja, hehe. Tadi kebetulan kelamaan berdiri, ngantri. Saka mau lepas ini kakinya. Gak betah."

"Ya sudah kalau gitu."

Tak berucap, Bayu mengukir senyum lembut melihat kehangatan dari obrolan sederhana di depannya, lantas dia beralih pada Maya yang masih asyik memperhatikan interaksi Saka dan Azka. Gadis itu tidak begitu banyak berbicara sejak tadi pagi.

Sebelum semua memasuki mobil, sebentar Bayu mendekat ke arah Maya. Mengusap pelan puncak kepala gadisnya hingga membuat si empu terperanjat.

"Ih, ngagetin."

"Gitu aja kaget."

Maya mencembikkan mulutnya sambil menurunkan tangan sang papa. Pura-pura ngambek. Namun hal tersebut justru membuat Bayu terkekeh pelan lantas menundukkan badan untuk mencium kedua pipi gadis cantiknya itu.

"Jangan sedih terus, ya, Sayang?"

Bayu tidak bisa berkata lebih untuk memberikan penyembuhan. Hanya sekadar kata klise yang terlintas begitu saja ketika melihat wajah muram si cantik.

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang