15. Menjadi baik bersama jarak

144 25 0
                                    

Agak berat meninggalkan tempat kelahiran untuk waktu yang lama. Meski meninggalkan bekas lara, di sini Maya pernah dibuat sangat bahagia. Masa-masa di mana tawa masih leluasa dari setiap penghuni, memenuhi relung hati hingga sepi menyingkir.

Sekarang suasana sudah cukup berbeda semenjak Helmi harus menjalani hukuman. Sepi? Tidak juga. Hanya berbeda saja.

Daripada terus terkurung dalam perubahan situasi dan ketakutannya sendiri, Maya memang lebih baik menepi ke tempat yang berbeda. Dan di sinilah sekarang dia berada-Solo, tempat keluarga dari papanya berasal.

Sebelum kali ini, Maya sudah berkali-kali mengunjungi eyangnya bahkan hampir setiap tahun ketika lebaran. Tak heran jika dia langsung bisa mengobrol leluasa dengan banyak saudara.

"Bojomu, kok, ra melu sisan?" (Terus istrimu kok gak ikut sekalian?)

"Enggak, ngurus yang paling kecil, rewel terus. Bayu ke sini cuma nganter Maya doang. Besok pagi balik ke Jakarta lagi."

"Lho, kok kesusu men? Wong urung ketemu Seno." (Kok, buru-buru banget? Orang belum ketemu Seno.)

"Bayu harus kerja. Ketemu Mas Seno-nya kapan-kapan aja, orang dia juga sering ke Jakarta."

Bagi Maya, nada bicara orang tua selalu saja lucu apalagi eyang buyutnya itu yang berbicara dengan bahasa jawa. Maya tidak begitu paham, tapi terdengar lucu saja dan menggemaskan. Senyum kecil pun terukir melihat interaksi tersebut.

Baru dua jam setelah Maya dan papanya tiba, suasana hati sudah benar-benar berbeda. Benak lebih bisa lega dan hati menjadi tenang tanpa mengkhawatirkan apa pun secara berlebihan. Orang-orang di sini begitu cepat memberi distraksi dengan banyak hal yang jarang ditemui Maya sendiri. Dia jadi memiliki banyak sekali dalih untuk keluar dari zona gelap.

"May ...." Seseorang menginterupsi yang sontak membuatnya menoleh.

"Mbak Kayla?"

Maya lantas berdiri dan segera menyambut kedatangan gadis itu dengan pelukan hangat.

"Ih, makin cantik aja Mbak Kayla."

"Halah, sama aja."

Hanya basa-basi biasa, saling memuji, saling menyampaikan rasa rindu lalu duduk dan mengganti topik obrolan dengan rencana untuk menghabiskan waktu bersama. Hal itu biasa mereka lakukan setiap kali Maya berkunjung ke Solo. Setidaknya sebelum Maya masuk ke sekolah yang baru minggu depan, dia harus menikmati masa senggang dengan jalan-jalan.

"Mbak udah bersihin kamar buat kamu, May."

"Tidur bareng Mbak Kayla?"

"Ndak. Kan, Mas Kavi lanjut S2 di luar negeri, jarang banget pulang, jadi kamarnya kosong. Kamu tidur di sana."

"Emang boleh dipake?"

"Boleh. Malah Mas Kavi sendiri yang suruh. Takut jadi sarang nyamuk kalo kelamaan kosong."

Rumah keluarga besarnya di Solo bisa dibilang tidak sederhana. Tidak memiliki lantai dua seperti di rumahnya, tapi lokasinya cukup luas dengan halaman depan dan belakang serta kolam renang. Tak heran sebenarnya, sebab rumah ini adalah rumah keprabon atau rumah warisan turun temurun dari buyut-buyutnya dan menjadi rumah berkumpul anak-cucu yang tinggal di luar kota setiap hari raya.

Maya cukup betah di sini. Seperti papanya, seluruh keluarga yang tinggal di rumah ini selalu menunjukkan sikap hangat, tidak ada yang usil sama sekali. Kenyamanan membelai meski sebenarnya sendu masih memeluk. Di kamar yang sudah rapi sekarang, dia termenung untuk menata sedikit buncah yang masih menyerang. Ada beberapa hal yang masih dia cemaskan, termasuk Helmi dan juga ... Pandu. Gadis itu lalu mengambil ponselnya dan memeriksa notifikasi yang tadi sempat berbunyi.

Kak Pandu👑
May, kamu udah sampai?
Gimana perjalanannya?
Udah di kamar?
Udah makan belum?
Langsung bobok ya?
Kalau nanti aku telfon kamu, boleh gak?
Eh, tapi kalau gak boleh gak papa juga. Yang penting kamu udah baca wa aku, hehe.
Istirahat yang cukup ya, Cantik? Kalau sedihnya datang lagi, cepet-cepet hubungi keluarga. Jangan dipendam sendiri.
Kalau belum cukup lega, gak papa hubungi aku. Aku bakal selalu nungguin notifikasi dari kamu.
😸

Senyum seketika terbit. Tanpa sadar, Maya sudah melewatkan banyak detik hanya untuk membaca deretan pesan itu. Dia bahkan sampai mengelus layar ponselnya sendiri.

Pandu Eka Darmawangsa, nama itu sama teduhnya dengan ungkapannya. Untuk sekelas orang asing, Pandu sudah sangat berpengaruh untuk hari-harinya. Hati yang tadi sedikit berantakan, kini mulai tenang hanya karena pesan-pesan cerewet dari pemuda keras kepala.

Maya lantas menggerakkan jemarinya, mengetik balasan untuk Pandu.

Maya Desti
Makasih, Kak. Aku udah di rumah eyang😊.

Setelah terkirim, tak membutuhkan waktu lama dua centang abu-abu berubah warna menjadi biru dan diikuti keterangan mengetik di bawah nama Pandu. Cepat sekali responnya.

Kak Pandu👑
Alhamdulillah. Makasih juga udah mau balas😁

Maya sudah cukup yakin untuk berdamai. Dia tak lagi sangat tertekan dan terlalu takut. Jarak memberinya sedikit keleluasaan tanpa harus benar-benar memutuskan hubungan. Mungkin sementara biar seperti ini dulu sampai kedamaian itu sepenuhnya dia dapatkan.

__°°__

Untuk saat ini tidak ada yang bisa membuat Pandu seantusias biasanya kecuali balasan pesan Maya. Meski tak sebanding dengan tumpukan kalimat yang dia kirim, satu saja notifikasi dari sang gadis cukup dunianya terasa tak lagi sendu. Jarak jauh pun seolah sudah bukan menjadi masalah jika hubungan lebih bisa terjalin sangat baik. Setidaknya Maya sudah memberinya banyak respon dibandingkan sebelumnya.

"Cewek gue udah balik," celetuknya.

Pandu selalu optimis. Dia bahkan semakin percaya diri untuk bisa mengembalikan momen manis bersama gadis kesukaannya.

"Cewek gue udah balik!" teriaknya seperti orang gila sampai membuat pintu terbuka oleh Panji.

"Kenapa lo teriak?"

Tak malah marah karena pintu kamarnya tiba-tiba dibuka, Pandu justru membagi rasa bahagianya pada sang kakak dengan tersenyum lebar.

"Gue udah baikan sama cewek gue, Mas!"

"Ha?" Panji tentu tidak mengerti.

"Wa gue udah gak di block, pesan gue dibales dan gue dikasih emot lagi."

Masih berdiri di ambang pintu, Panji mengerutkan keningnya sambil menganga melihat tingkah Pandu yang tidak jelas.

"Beneran cewek lo?"

"Iya, lah."

Terkadang seorang laki-laki akan menjadi sangat konyol jika itu menyangkut hal membahagiakan dari pujaan hatinya. Pemuda penuh tekad seperti Pandu tidak akan mungkin hanya sekadar tenang setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia pasti akan mengungkapkan perasaannya kendati harus bertingkah seperti orang mabuk.

"Oh, selamat, deh, kalau gitu." Panji pun tak ingin dibuat pusing atau ikut sama gilanya sebab dia sama sekali tidak tahu mengenai kisah cinta adiknya. Di iya-in aja, biar seneng, seperti itu pikirnya. Dia lalu kembali menutup pintu kamar Pandu dan membiarkan pemuda itu sibuk dengan euforianya.

Sementara Pandu sendiri tak peduli jika kakaknya akan melihatnya tidak waras. Dia malah seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa hari ini dia sedang bahagia. Dia juga ingin memberi tahu jika Maya-nya sudah tidak cuek lagi.

Senyum lebar enggan luntur. Pandu kian terlihat manis dengan wajah sumringahnya sekarang. Atensi kembali menatap layar ponsel demi melihat ruang obrolannya dengan Maya.

Persetan jika ada orang yang akan mengejeknya terlalu berlebihan atau lebay. Kehidupan Pandu sudah terasa lengkap sekarang dan dia akan terus merayakannya meski hanya dengan senyuman.

__°°__

Bersambung...

Menanti Pintu TerbukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang