01

4.2K 166 5
                                    

••

“Pokoknya Sean nggak mau tau, Sean pengen sekolah di sekolah yang sama kayak Abang. Titik!

Kedua insan yang belum sepenuhnya terjaga tersebut saling melempar pandang dengan muka bantalnya. “Kamu ngapain, sih, Sean? Masih pagi gini pakai teriak-teriak, nanti kalau tetangga pada demo depan rumah gimana?” tegur sang Ayah, penuh pengertian.

Sang Ibu mengangguk, kemudian melirik ke arah jam weker yang berada di atas nakas. “Kamu bangunin kami pukul tiga cuma buat bilang ini? Kenapa nggak besok aja, Sayang?” ucap beliau dengan nada selembut mungkin.

Oceana menggeleng keras. Jari telunjuknya kemudian ia letakkan di depan bibir. “Mami jangan ngomong kenceng-kenceng entar Abang denger!” pekiknya dengan pias panik.

Keduanya serempak mendengkus berat. Yang teriak siapa, yang ditegur siapa. “Habisnya kemaren pas Sean minta malah pada nggak setuju. Makanya Sean bangunin sekarang biar besok Sean bisa langsung sekolah sama Abang!” terangnya penuh semangat.

“Siapa yang ngelarang kamu? Boleh, kok.”

YEAY

“Tapi, nggak sebagai siswi, melainkan siswa.” Oceana yang semula sudah bersorak-sorai penuh kegembiraan, seketika menurunkan bahu usai mendengar ralat dari sang Ayah.

Pemuda itu menghentakkan kakinya berulang kali. Demi mendapat restu untuk ide konyol yang dikehendaki, Oceana langsung mengeluarkan rayuan mautnya yang pastinya tak akan bisa ditolak oleh kedua orang tuanya.

“Papi sama Mami udah nggak sayang sama Sean lagi.”

Yakni, dengan menangis.

Sang Ibu yang sudah mulai kelelahan menghadapi aksi keras kepala puteranya tersebut, tampak tak lagi punya tenaga untuk berdebat dengan si bungsu. Terutama jika sudah mengeluarkan kalimat andalannya tadi setiap kali ia menginginkan sesuatu. Ia mana sanggup menolaknya.

“Sudahlah, Mas. Turutin aja. Soal identitas biar kamu bincangin sama Kepala Sekolah. Kamu kenal baik sama dia, ‘kan?” pinta wanita itu sembari mengelus bisep suaminya yang masih tampak ragu.

“Nggak bisa gitu, dong, Dek. Pemalsuan identitas itu ada pasal pidananya, lho. Mas nggak mau ambil resiko,” tolak pria itu mentah-mentah.

Mendengar jawaban tersebut, semakin kencanglah tangis Oceana pagi itu. Pemuda yang baru berulang tahun yang ke-15 tersebut kini meraung sambil menarik-ulurkan masing-masing kakinya dalam posisi duduk. Persis seperti anak kecil yang merengek meminta untuk segera dibelikan mainan yang dikehendakinya.

“Berisik!”

Si sulung tiba-tiba saja muncul dari balik celah pintu yang sudah terbuka lebar hasil dari bantingan yang dilakukannya sebelumnya. “Gue amplas juga tuh mulut lama-lama!” kecamnya murka sehabis terbangun paksa usai mendengar raungan tangis membahana milik si bungsu.

“Abang jahat! Abang nggak sayang Adek!

Sang Ayah segera beranjak dari tempat tidurnya begitu putera sulungnya tersebut sudah ancang-ancang ingin meninju putera bungsunya yang kini sedang bersembunyi dibalik badan sang Ibu.

“Altair ...” tegur wanita itu dengan masih mempertahankan nada lembutnya. Ia tahu benar bahwa Altair tak mungkin serius dengan aksinya itu.

Altair tentu saja ikut merengek mendengar wanita yang dikasihinya itu menegurnya tadi. “Adek tuh nyebelin banget, Mi. Dibilang nggak masih juga ngotot. Kalau ada got di sini udah Al jorokin tuh anak sampai mukanya dicium sama pasukan kecebong!”

“Tuh, ‘kan! Lihat sendiri kalau Abang itu jahat. Nggak pernah sayang sama Adek. Mending buang aja semua koleksi Spider-Man dia, Pi!” Oceana mengompori sambil meledek Kakaknya tersebut dengan lidah yang ia julurkan berulang kali.

Sedangkan Altair yang masih direngkuh sang Ayah pun dengan pias murka menjawab, “Lihat aja, besok semua koleksi komik BoBoiBoy lo gue bakar habis sama lemari-lemarinya!” kecamnya tak mau kalah.

“Ih, Abang tuh, ya!”

Ape? Ape? Nak lawan? Meh sinilah!” tantang Altair sembari menirukan salah satu adegan pada salah satu episode dari kartun kesukaan adiknya tersebut dengan suara meledeknya.

“CUKUP!”

Wanita yang biasanya dikenal mereka sebagai sosok paling sabar tersebut tiba-tiba berteriak dengan pekikan melengkingnya. Ia sudah lelah sekali menghadapi tingkah laku kedua anaknya yang tiada habisnya selalu bertengkar di depan mereka. “Oceana, tanpa Mami ulangi, kamu sudah tau jawaban kami, ‘kan?”

Yang dipanggil mengangguk kaku. Terlihat pasrah lantaran terlanjur takut melihat sang Ibu yang untuk kali pertamanya begitu marah sekarang. “Maaf,” sahutnya lesu.

“Oceana, mulai besok kamu boleh sekolah bareng Abang kamu, tapi harus sebagai laki-laki. Dan Altair, Mami mohon tolong jaga Adek kamu di sana. Ngerti kalian?”

Altair mengangguk penuh semangat. “Siap, Mi!” Bahkan sampai memperagakan gaya hormat ala anggota TAPOPS dari serial BoBoiBoy Galaxy hingga mengundang delikan tak terima oleh Oceana.

Suasana hati si bungsu semakin memburuk. Gagal sudah rencananya untuk meyakinkan kedua orang tuanya demi melancarkan aksi yang sudah dirancangnya sejak dari jauh-jauh hari.

••

TBC

Oceana - Altair

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oceana - Altair

lagi proses bonding ama jaemjen hehe (anjayyyy bahasanya) soalnya GEMES JUGA YAHHHH

OCEANA   +jaemjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang