02

1.9K 139 2
                                    

••

Menyerah?

Kata macam apa itu? Tak pernah sekalipun seorang Oceana memilikinya didalam kamus tebal hidupnya. Larangan kedua orang tua beserta kakaknya tadi pagi diabaikan olehnya. Alih-alih merasa takut mendapat amukan tak terkira oleh sang ibu, Oceana bermodal nekat memutuskan untuk pergi sendirian ke sekolah usai beralasan bahwa ia akan terlambat kepada sang kakak yang sempat mengamuk karena ia terlalu lama berdiam diri di kamar.

Begitu memastikan bahwa keadaan rumah telah kosong akan aktivitas dari penghuninya, Oceana langsung meluncur dengan tak sabaran ke arah sebuah mobil yang sudah terparkir apik di depan pagar rumahnya.

“Dari sini ke SMA Bumantara kira-kira 5 menit sampai, nggak?” tanya Oceana usai memasuki jok penumpang.

Pria itu melirik dari kaca spion. "Saya supir taksi online, Dek. Bukan The Flash.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan pertanyaan tak masuk akal oleh Oceana. “Paling cepet 15 menit, deh. Itupun kalau nggak macet-macet banget,” ujar beliau memberikan usul lain.

Oceana terdengar berdehem panjang. Agak ragu, namun jika dipikirkan lagi, dia tak punya pilihan lain sebenarnya. Lantas, ia berdecak. “Bener, ya? Awas kalau sampai lewat.”

Pria itu terdengar berdecak pasrah. “Iya, Neng.”

••

Sesampainya di tempat tujuan, Oceana dibuat celingukan. Pagar rupanya telah tertutup rapat dan rata-rata sudah tak ada aktivitas jika mengintip dari luar. Itu berarti satu hal, Oceana terlambat.

“Ih, ini gimana gue masuknya coba?” gerutu Oceana sembari menggaruk rambut ekor kudanya.

Tak sengaja netranya menangkap siluet kakak kelas menggunakan blazer bermotif batik berwarna hijau tua selayaknya sang kakak sebelumnya. Besar kemungkinan jika pemuda itu sama-sama anggota kesiswaan di sekolahnya.

“Kak!” panggilnya lumayan nyaring. Oceana melambaikan tangan melalui celah tiang penyangga pagar. Begitu eksistensinya mulai tertuju, Oceana segera memamerkan cengirannya. “Bukain dong, hehe.”

Pemuda itu berjalan mendekat. Tatapannya nampak seperti mengobservasi penuh akan penampilan Oceana saat ini. “Kenapa telat?” Ia memutuskan untuk bertanya, lantas dengan baik hati ia membukakan pagar kepada Oceana.

“Macet,” jawabnya singkat sambil tersenyum lebar. Oceana kemudian menatap rajutan nama pada blazer si pemuda. “Makasih, Kak Fah-re-za,” Ia mengatakannya dengan suara mengeja.

Ucapan itu dibalas anggukan pelan oleh si pemilik nama. “Lain kali jangan sampai telat lagi, ya? Udah tau di kelas mana?”

“MIPA?” Oceana terdengar kebingungan akan jawabannya sendiri. Bermaksud ingin bertanya akan barisan yang kelasnya tempati.

“Kalau nggak salah, deret barisan depan ruang UKS itu anak-anak MIPA. Lo coba dulu masuk ke sana. Entar tanya aja ke anggota lain, siapa tau lo salah kelas.”

Dengan semangat, Oceana mengangguki setiap patah kata yang diucapkan oleh kakak baik hati tersebut. Usai lagi-lagi berterima kasih, Oceana segera beranjak menuju barisan yang dituju.

Barisan rupanya telah rapi. Bersiap menyambut para kakak pembina yang akan mengeksekusi siswa baru yang tak menggunakan atribut lengkap. Masing-masing sibuk berceloteh ria dengan sesama anggota. Menyisakan Oceana yang hanya termangu sembari mencari akan siapa sosok yang bisa dimintai bantuan.

Target ditemukan. Oceana lantas mencolek pelan bahu milik siswa yang semula sedang mengobrol panjang dengan teman yang lain. “Sorry, gue ganggu. Ini kelompok Ki Hadjar Dewantara, bukan?”

Pemuda tanggung itu sesaat mengerjab memandang figur Oceana saat ini. Tak percaya keberuntungan tengah berpihak kepadanya hingga mendatangkan bidadari yang terlebih dulu menghampirinya tanpa harus bersusah-payah merayunya lebih dulu.

Cantik, ingin rasa hati berbisik.

Buset, ada yang tumbang, noh!

“Si Ardana mana? Ada yang pingsan, nih!” Salah satu kakak kelas perempuan menjerit heboh melihat pemuda yang tadi diajak mengobrol oleh Oceana kini sudah limbung dan nyaris hilang kesadaran.

Gerombolan kakak pembina pun berbondong-bondong menghampiri barisan mereka. Menciptakan kehebohan tersendiri hingga menyulut sorak-sorai oleh siswa-siswi baru yang entah mengapa justru meributkan kelompoknya.

“Kenapa bisa sampai pingsan gini, sih? Belum juga mulai upacaranya!” sungut si anggota PMR sambil memberikan aroma minyak kayu putih pada rongga pernapasan si pemuda yang tengah dipangku oleh temannya.

“Ardana ada urusan ...”

Sosok pemuda lain muncul dari arah podium. Suaranya tiba-tiba menghilang tatkala visusnya bersibobrok dengan iris karamel milik gadis yang tengah kebingungan di antara keributan yang terjadi.

Oceana tanpa sadar melotot, kemudian berusaha keras menyembunyikan wajah dari balik helai ekor kudanya. Dalam hati terus merafalkan kalimat yang sama. Semoga nggak kenal, semoga nggak kenal!

“Eh, lo yang nutupin muka pakai rambut. Ikut gue ke Aula, sekarang!”

••

TBC

visualisasi OC-nya bisa dibayangin sendiri aja, ya hehehehehe

OCEANA   +jaemjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang