05

940 78 1
                                    

••

Altair memijit kedua keningnya yang terasa pening. Terutama saat bola matanya tanpa sengaja melirik ke arah Oceana yang tengah melambaikan tangan dengan sebuah senyum samar dari arah salah satu barisan. Bagaimana bisa pemuda yang sedang cosplay itu teramat santai menyikapi keadaannya sendiri?

Bersamaan dengan rasa frustasi yang melanda, Altair dikejutkan ketika melihat sosok Ketua PMR dengan santai berjalan melewatinya. Pemuda beralis camar tersebut dengan cepat mencekal lengan sang pemuda. Sehingga membuat atensi yang semula fokus pada beberapa lembar kertas portofolio ditangan, perlahan terarah kepadanya.

Altair mengambil napas panjang. Demi keberlangsungan kehidupannya sebagai kolektor action figure, Altair harus rela merendahkan dirinya. “Gue tunggu lo di atap.”

“Tidak bisa di sini saja?”

Sedikitpun respon tak ia dapatkan. Yang ada hanyalah dengkusan berat dan sebuah tatapan tajam yang senantiasa mengiringi. Barulah ketika pemuda itu melirik ke arah tautan tangan mereka, Altair segera menghentakkan lengan keduanya. Dehem pelan terdengar guna mengusir kecanggungan yang sebelumnya terasa.

“Gue mau ngenalin lo sama seseorang,” ucapnya menggunakan gurat serius. Tak ayal membuat orang di depannya kini mengernyitkan keningnya.

••

Abang 🙊 : temuin gue di atap. SEKARANG!

Oceana mencibir. Bibirnya menukik kesal ke atas. Kenapa Altair memaksanya disaat dia sedang ingin mengisi perutnya yang belum mendapatkan jatah sarapan sama sekali ini?

“Ana, gimana?” Salah satu teman barunya mencolek bahunya. “Mau ikut ke kantin bareng, nggak?” tawar gadis itu sekali lagi.

Ngomong-ngomong, demi menghindari kecurigaan, Oceana terpaksa harus mencari teman sesama gadis dengan panggilan baru, yakni ‘Ana’. Itu semua didasari oleh ide Altair sebelumnya yang agaknya merasa terdistraksi mengenai kecamannya tadi.

“Kalian duluan aja, deh. Gue ada urusan lain soalnya,” tolaknya halus.

Sekelompok gadis itu lantas mengangguk mengerti. Tak ingin bertanya lebih jauh, meskipun sedikit dibuat penasaran lantaran sebelumnya Oceana sempat dipanggil oleh Altair sewaktu belum mengadakan upacara tadi. Lagipun, mereka baru saja saling berkenalan. Mereka lantas berjalan lebih dahulu, meninggalkan Oceana yang juga ikut berlari menuju tempat yang dijanjikan oleh Altair sebelumnya.

“Abang?” panggilnya begitu tapak kaki telah melangkah masuk selesai membuka pintu akses ke atap.

Netranya mengobservasi sekitar dan tak lama menemukan eksistensi Altair yang sedang mengobrol serius dengan seorang pemuda. Dengan langkah pelan, Oceana menghampiri kedua lelaki itu sembari terus memasang wajah penasaran ke arah sosok yang tertutupi tubuh besar kakaknya tersebut.

Altair menoleh ke arah sang adik yang mulai berjalan ke arahnya. “Gue nggak bisa jagain lo karena Papi nggak kasih izin buat ikut nge-asrama juga. Jadi, gue titipin lo ke Ardana.”

Barulah Oceana dibiarkan untuk mengenali siapa sosok yang dimaksud. Hal pertama yang dia lihat adalah netra sipit yang tak kalah menusuk dari milik sang kakak. Begitu tajam dan dalam sehingga membuat Oceana sedikit bergidik ketika terlalu lama bersitatap dengan netra kosongnya itu.

Oceana memutuskan untuk bertanya kepada Altair, “Emang nggak apa?”

Sekilas Altair menatap ke Ardana yang nampak ikut membalas tatapannya. Beberapa detik berkisar, yang lebih tua segera memalingkan wajah dengan menatap sang adik kembali. “Dia setuju. Sebagai balasannya, lo harus patuh sama apapun yang dia pengen. Paham?”

Satu anggukan diterima tanpa perlu berlama-lama dipikirkannya. Oceana tak peduli, selagi menurutnya keinginan dia untuk tinggal di asrama telah terpenuhi. Mau dia dijadikan babu oleh si Ardana ini sekalipun, rasanya Oceana tak akan ambil pusing.

“Gue titip dia, Na.”

Ardana hanya mengangguk samar.

••

TBC

Ardana - Oceana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ardana - Oceana

OCEANA   +jaemjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang