••
Hembusan napas berat terdengar keluar dari hidung Ardana tatkala memikirkan dua hal secara bersamaan dalam satu waktu hari ini. Seharusnya dia merasa senang lantaran di tahun ketiganya, dia lagi-lagi mendapatkan sebuah ‘anugerah’ dengan ditempatkan pada bangku yang ada dipojok kelas baru serta jauh dari Altair serta Fahreza yang sering kali memicu keributan diwaktu tenangnya.
Tetapi, pikirannya lebih menjurus pada rasa khawatir yang cukup berlebihan ketika teringat jika teman sekamarnya itu masih dalam kondisi yang tak sehat setelah sebelumnya mendapatkan banyak kekerasan dibeberapa bagian wajahnya akibat ulah dari beberapa gadis yang telah berada satu kelasnya dengannya kini.
Oceana memang tidak menyebutkan secara gamblang akan siapa saja oknum yang merundungnya. Akan tetapi, entah kebetulan atau apa, Ardana justru mendapati beberapa subjek yang dirasa lumayan berkesinambungan dengan tragedi yang sempat Oceana ingat perihal detail kejadiannya.
“Seinget gue, ada satu pelaku yang sempet gue cakar dipipinya juga. Lebih panjang dari punya gue sekarang. Gue nggak terlalu ngeh dibagian mananya, tapi kayaknya hampir kena mata.”
Ardana picingkan matanya menuju beberapa gadis yang tengah berkumpul di meja Shania. Beberapa menit observasi berjalan, Ardana lantas menemukan fakta jika Ghea adalah satu-satunya yang masuk ke dalam kategori yang disebutkan oleh Oceana. Dimana ada plester luka yang menutupi bulu mata bawahnya. Agaknya benar itulah alasan dibalik ia menutup bagian tersebut.
“Pelaku kedua, gue berani taruhan kalau besok dia pasti jalannya pincang. Gue refleks tendang tulang keringnya waktu dia udah ancang-ancang mau jambak rambut gue.”
Satu lagi yang lumayan mencolok hari ini. Padahal Ardana sempat melihat jika kemarin Nadira masih baik-baik saja kala mereka berpapasan di kantin, tapi menemukannya sedang berjalan tertatih sambil sesekali meringis menuju bangkunya sendiri membuat Ardana menyimpulkan jika dia termasuk ke dalam kumpulan perundung itu.
“Yang ketiga ..., lo harusnya udah kenal dia, sih. Pasti! Hidungnya mungkin patah sehabis gue tonjok tadi.”
Ardana geser bangkunya agar mempermudah jalannya untuk keluar dan menghampiri kerumunan gadis-gadis itu. Ia harus memastikan sesuatu lantaran di bangkunya, Ardana tak dapat melihat dengan jelas akan kondisi dari terduga pelaku terakhir yang tengah dicurigai olehnya.
“Maaf, kalau boleh saya bertanya, hidung kamu kenapa?” tanyanya tanpa basa-basi kepada salah satu dari mereka.
Arabella tampak mulai bereaksi gusar. Dari gerak-geriknya yang tengah gelisah, Ardana bisa membaca jika lawan bicaranya itu pasti sedang kebingungan untuk mencari jawaban yang tepat mengenai keadaannya.
“Emang kenapa, Na?” Shania tiba-tiba menyahut sehingga Ardana lantas memutar kepalanya ke arah gadis yang tersenyum lebar dengan kedua tangan bertumpu di atas meja untuk menopang dagunya. “Arabella mungkin lagi bosen sama hidungnya, so she did some surgery on it. Nggak ada yang salah, ‘kan?”
Kemudian, Ardana alihkan tatapannya menuju Arabella yang seakan sedang menghindari kontak mata dengannya. “Kelihatannya begitu menyakitkan. Apa itu cukup sepadan untuk dilakukan dengan konsekuensi seberbahaya ini?”
“Yeah, beauty is pain, Ardana. Bukannya ‘kalian’ suka mendiskriminasi cewek lewat tampangnya? Harusnya lo nggak perlu heran kalau mereka rela ngambil resiko demi atensi yang emang nggak seberapa itu.”
Ardana tak terlalu ingin mengindahkan celotehan Shania. Beruntungnya momen itu cukup pas ketika seseorang dari arah luar tengah memanggil namanya. “Na, lo disuruh ke ruang multimedia, tuh!”
Senyum tipis terpatri diwajah si lelaki yang kerap disangka apatis oleh orang-orang. “Permisi,” ucapnya sebelum berangsur meninggalkan kelas yang kini hanya berisikan empat gadis tersebut.
“Gue nggak nyangka kalau dia bakal ngelawan, Shan! Tuh anak ternyata beringas banget sampai bikin kita jadi hancur begini!” Arabella memulai keluhannya dengan ekspresi kesalnya.
Shania berdecak sebal dalam hati. ‘Emang lo aja yang nggak becus nanganin dia.’ Netranya bergulir ke samping. Ikut kesal lantaran tiga orang dayangnya yang diharapkan berhasil memukul mundur musuh barunya yang bahkan belum pernah ditemui olehnya itu lantas putuskan untuk mundur seperti yang lainnya.
Kuku berlapis kutek bening tersebut tanpa khawatir akan rusak, Shania gigit begitu saja untuk mewakili rasa cemasnya. Sekuat apa sebenarnya gadis itu sampai membuat Ghea, Nadira hingga Arabella sampai babak-belur seperti ini?
Bibirnya seketika mengeluarkan decakan sarkasnya. “Lo pada tau kelasnya di mana?”
Tidak ada pilihan lain. Agaknya Shania sendiri yang seharusnya turun untuk berhadapan dengan gadis itu.
••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
OCEANA +jaemjen
Fanfiction⚠︎︎ NOT GENDERSWITCH (GS)! ⚠︎︎ Ini rahasianya . . . [Na Jaemin - Lee Jeno]